Merasa Paling Indie Saat Pandemi

Lebaran kali ini tak ada ketupat, diganti lontong. Begitu kata Ibu. Daun kelapa sebenarnya masih ada di pasar, tapi tiba-tiba jadi barang langka. Pemicunya sistem logistik yang tersendat akibat pembatasan sosial di kala pandemi. Masuk akal. kata Ibu, sebaiknya memang tidak maksa segalanya harus sama seperti Lebaran tahun lalu.

Mungkin keluarga lain bisa mudah bikin ketupat. Atau bahkan ada yang sama sekali tidak memasak makanan khas Lebaran. Ketika krisis global memukul, yang diperlukan adalah mengelola ekspektasi. Saya beruntung tinggal dengan orang tua, yang keduanya masih sehat selama tiga bulan terakhir dan semoga tetap diberikan semangat.

Ramadhan 2020 menjadi Ramadhan, di mana saya selama satu bulan, benar-benar genap 30 hari, tanpa absen buka bersama dan sahur bersama orang tua. Terakhir kali saya melakukan ini adalah saat di bangku SD dulu. Itu berarti 20 tahun yang lalu.

Coba tengok sekilas saat SMP-SMA, di mana ada beberapa hari janjian buka bersama dengan teman sepergaulan. Beberapa hari yang bisa dihitung dengan jari itu, secara perlahan menjadi satu pekan penuh. Selanjutnya absensi bisa menjadi hampir atau bahkan satu bulan penuh ketika masa-masa kuliah dan bekerja menjadi manusia dewasa di Ibu Kota.

Selain Ibu yang tidak masak ketupat, Bapak saya pun pertama kalinya dalam hidupnya menjadi imam untuk sholat Idul Fitri di rumahnya sendiri. Saat khutbah, Bapak membaca teks yang ia siapkan semalam. Sederhana saja kalimat-kalimatnya.

Perayaan maaf betulan alias bukan maaf-maafan menjadi lebih singkat. Kami mendatangi hanya keluarga yang sangat dekat. Saudara dari Ibu dab saudara dari Ayah. Durasinya pun tak perlu berlama-lama.

Kita pun sudah saling tahu kondisi di tengah krisis begini. Pembicaraan dengan Ibu dan Ayah selama sebulan duduk di meja makan kala buka dan sahur diselipi oleh kabar terbaru mengenai saudara-saudara mereka. Beragam tapi tetap satu tema: soal kehilangan pekerjaan, sakit secara fisik, sulitnya mengurus anak-anak yang sekolah secara daring, ujian dan kelulusan daring, ataupun beras yang cepat sekali habis.

Informasi yang satu tema tersebut sudah mengalir sejak akhir Maret. Tak asing tentunya bagi saya sebagai pewarta ekonomi. Hanya saja fakta-fakta semakin ke sini terasa semakin dekat.

Kalau mau jujur, berita pandemi Covid-19 adalah berita yang paling saya hindari. Dihindari untuk saya baca. Hal itu juga termasuk informasi di sosial media. Apalagi kalau sudah terselip kata konspirasi. Saya akan tutup mata sepenuhnya dengan hal begini.

Yang menarik dari tragedi pandemi adalah bagaimana media membingkainya. Tentu ada media yang setiap hari kerjaannya membeberkan fakta yang sangat tidak membangkitkan minat. Tapi, tentu saja ada media, yang kalau kita seleksi, mereka membuka cakrawala berpikir menjadi lebih luas.

Saya mencatat opini sejarawan Israel Yuvah Noal Harari di Financial Times 20 Maret 2020, yang dengan kuatnya beragumen soal biometric monitoring dan solidaritas global. Pada 30 April 2020, The Economist merilis editorial dan feature lengkap mengenai The 90% Economy.

Pada edisi Mei 2020, cover The New Yorker menampilkan ilustrasi siswa-siswi lulusan tahun ini dengan masker dan toga, “Class of 2020”. Time mengambil tema serupa melalui edisi Juni 2020, “Generation Pandemic”.

Sementara The New York Times, dua kali menegaskan data yang begitu mencengangkan. Edisi 9 Mei 2020 “U.S Unemployment is Worst Since Depression” dan edisi 24 Mei 2020 “U.S Death Near 100.000, An Incalculable Loss.”

Terlalu Amerika dan ke barat-baratan? ya tentu saja. Tapi bukan berarti sama sekali tidak ada relasinya dengan Indonesia. Ingat saja fakta bahwa Covid-19 adalah sebuah pandemi global. Hampir semua negara mengalami hal yang sama. Tak ada yang paling menderita sendirian.

 

Tempat Pelarian

Beberapa narasumber saya untuk sebuah berita pernah ada yang protes mengenai penggunaan kata new normal atau realitas baru yang terlalu sering digunakan. Bahkan dia tanya balik mengenai definisi dari kata tersebut.

Protes itu membuat saya mencari jawaban, sudah sejauh mana realitas baru ini didefinisikan secara lengkap. Dari arus informasi mainstream, yang bisa ditemukan adalah penjelasan yang berkaitan dengan kesehatan, protokol bersosialisasi, dan strategi di tengah pandemi yang datangnya selalu dari pemerintah.  Sampai saya belum juga tahu apa sekarang ini kita sudah masuk di new normal, atau masih dalam tahap menuju ke sana.

Berkali-kali sejumlah artikel panjang memperingatkan jika gelombang virus berikutnya bukan melulu soal Corona, melainkan depresi. Sampai ada yang mengasumsikan jika semua orang di dunia ini, sekarang sebenarnya mengalami depresi di tengah pandemi. Cuma levelnya saja yang beda-beda.

Pada skala yang ringan, orang-orang bertahan dari depresi dengan Zoom-an bersama teman, melucu lebih banyak, dandanin hewan peliharaan, memanggang kue dan bekerja lebih giat, nonton berseri-seri film yang membuat bahagia, atau mengunggah foto lama yang dinarasikan sekalian “endlessly scrolling” pada sosial media.

Saya tentu saja ada di bagian gemar menutup-nutupi dengan nonton film. Setelah kerja memenuhi deadline harian koran, yang kelar jam 7 malam, lalu yang muncul di benak saya berikutnya adalah film apa yang bisa menghabiskan waktu.

Menonton film, bagi saya, bukan lagi soal selesai nonton dan marilah lanjutkan ke film berikutnya. Sekarang printilan-printilan seperti mencari tahu motif sutradara, sindiran halus pada dialog, gerak kamera, nuansa properti, nasib karakter, hingga menelusuri progres karir dari aktor dan aktris menjadi hobi baru. Dan film menjadi menarik apabila ditelusuri ke belakang alias bukan film baru apa yang belum ditonton, tapi film lama apa yang terlewati.

Film bisa menjadi studi lengkap mengenai pendongeng yang baik. Sementara gaya bercerita yang baik bukan soal mengejutkan penonton berkali-kali setiap menit. Apalagi di era internet, saat manusia ke sesama manusia merasa berhak selalu mengingatkan apa yang masuk dan tidak masuk akal. Karena pendongeng yang baik mampu bercerita tanpa harus selalu logis.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *