Segerombolan orang berdiri di depan Stasiun Flinders St yang menghadap Elizabeth St. Sekitar sepuluh. Dua puluh. Atau mungkin tiga puluh orang. Siapa peduli terhadap jumlahnya. Laki-laki itu berdiri di antara kerumunan. Memperhatikan crossing lights. Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu. Warnanya masih merah. Siapa yang tahu persis lampu penyebrang jalan ini bakal berubah warna.
Dari arah berlawanan, sergerombolan orang juga tengah menunggu. Mungkin sebelas. Dua puluh satu. Atau tiga puluh tiga orang. Pukul empat tiga puluh sore. Jam sibuk. Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu. Sekarang, crossing lights itu berubah hijau, dan diikuti bunyi konstan.
Yup Yup. Menyebrang jalan menjadi sebuah rekreasi. Setidaknya bagi laki-laki itu. Dia melempar senyum kepada perempuan paruh baya yang menenteng belanjaan Coles. Tak ada senyum balik. Sedetik kemudian. Dia mengangkat tangan kanannya tanda melempar high-five. Laki-laki berjas yang tengah berbicara melalui telpon hanya melempar senyum. Tak ada tepukan tangan di awal Desember.
Lain waktu, mungkin ide yang bagus jika memegang kepala orang saat berhadap-hadapan ketika menyebrang jalan. Ya, lain waktu. Pikir dia. Oh, come city people, why so serious?
Laki-laki itu memilih mempercepat jalannya ketimbang naik tram. Kota itu memberikan dia banyak energi. Setelah melewati Flinders lane, dia menambah kecepatannya. Kini dia berlari, ketika hampir tiba di persimpangan Collin St. Semacam tak mau menyia-nyiakan crossing lights yang masih berwarna hijau.
Dia menerobos sekelompok turis China yang tiba-tiba berhenti untuk mengambil foto, Excuse me. Excuse me. Saat tiba di perimpangan Little Collin St, dia berbelok ke kanan. Kini minim kerumunan. Tibalah di sebuah bar yang menyempil di tengah gang. Chuckle Park Bar and Café.
Perempuan itu tengah duduk sambil menenggak bir yang isinya tinggal setengah. Meja kedua di sebelah kanan. Lantai bar tersebut merupakan rumput palsu. Tak ada atap, namun dihiasi lampu fairylights.
“Loe telat 20 menit, Dut. Buruan gih pesen minum. Mumpung masih happy hour,” kata dia. Tentu saja minum yang dia maksud adalah alkohol.
“Santai, Mar. Gue mau pesen es kopi. Jam segini, Kakaknya semangat bener minum,” balas laki-laki itu.
Bar itu belum terlalu ramai. Dan minuman sudah datang kurang dari 10 menit. Duta gemar mengulur-ngulur waktu. Sementara Marina tak pernah sabar menunggu. Namun, keduanya sama-sama malas dengan adegan klise How-Are-You-I’m-Fine-Thank-You.
Duta menyungkil es krim yang mengambang di es kopinya dengan sendok kecil. Kemudian dia memutar-mutar whipped creamnya, dan menjilat sendok secara perlahan. Marina menatapnya dengan sorotan Yang-Bener-Aja-Dong-Loe.
“Gimana hidup, Mar?”
“Apa enaknya es kopi pakai whipped cream, Dut?”
“Sorry gue telat. Kayaknya gue ngabisin 15 menit untuk mikir lebih baik naik tram atau kereta dari Toorak. Lagian, kenapa mesti ketemu di City. Orang-orang serius banget di sini,”
“Elo kan enam bulan hidup di gurun. Baru tiba dari Alice Springs kemarin banget. Jangan pura-pura nggak bahagia jalan-jalan di City,”
Marina dan Duta bertemu Maret 2016. Kala itu, keduanya sama-sama pendatang baru di Melbourne. Kebetulan juga keduanya bekerja di restoran Jepang cepat saji. Pekerjaan pertama mereka di dunia hospitality. Tak ada orang asli Jepang di restoran tersebut. Tak ada pula menu sushi di daftar makanan.
Tak banyak yang terjadi, apalagi bumbu-bumbu cinta di Melbourne selama mereka menetap. Keduanya sibuk beradaptasi. Sibuk mencari kerja tambahan. Sibuk mengarahkan hidup. Namun, Marina dan Duta menjaga komunikasi saat mereka meninggalkan Melbourne.
Setahun lalu, Marina memilih berkeliaran di sekitar garis pantai Queensland. Sementara Duta menjelajah gurun-gurun di sekitar Northren Territory. Marina membiarkan kulitnya tetap kecoklatan. Sedangkan Duta mempertahankan pipinya yang gembil. Tak ada janji yang mengikat. Tapi, lagi-lagi keduanya sepakat kembali ke Melbourne.
“Udah dapet lakik belom. Mana cerita perTinderan?”
“Gue terhitung sudah dua bulanan di Melbourne lagi sekarang. Ya loe bayangin aja berapa banyak yang gue cobain,”
“Baek-baek, entar ledes,”
“Memek. Memek gue,”
“Stttttt… Vagina. Nggak enak ah kalau di denger orang,”
“Loe pikir ada yang ngerti di sini. Memek.”
“Vagina…”
“Dickhead…”
Duta menyedot es kopinya hingga tetes terakhir. Dia diam sejenak sambil berpikir minuman apa lagi yang dapat melegakan pikirannya. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Marina melihat pandangan tersebut. Baiknya dia memulai lebih dulu.
“Gue sudah daftar sekolah masak. Januari tahun depan mulai,”
“Yeah. I knew it. Soon or later, You’ve become one of them,”
“I beg you pardon”
“I get it. Okay. Umur loe sekarang 27 tahun, masih single, nggak ada yang mengikat. Sekolah buat jadi chef udah paling bener untuk memperpanjang visa. Go for it. Living your dream, Mar”
“What?”
“What do you want me to say? Gue udah kasih saran buat kawin sama orang Australi. Tapi loe pernah bilang, “I’m better than that.” Gue juga pernah ngasih ide soal visa refugee protection. Terus loe bilang, “I’m not that desperate,”
“Karena ide-ide loe itu memang tolol, Dut. Gue nggak mau lagi berhadapan sama kebodohan orang-orang di Jakarta. Gue nggak mau ditanya lagi soal calon suami, soal agama, sama ditanya beli tas dimana. Semuanya palsu. Totally fake,”
“It’s life, Mar! Lower your expectations. Ada cewek indo yang baru seminggu sampe Melbourne, buka Tinder, terus dapet laki. Hampir setahun hubungan mereka baik-baik aja, terus tiba-tiba tuh laki ditabrak mobil di jalan deket rumahnya. Meninggal. Nih cewek pun semacam jadi gila. Dan loe tahu ada kegilaan apa lagi yang…..”
Marina segera memotong cerita Duta. “Jadi loe pikir motivasi gue cuma perpanjang visa. Terus gaet laki bule dan…” Kali ini, Marina tak dapat menutupi getaran dalam suaranya. Matahari sore telah tenggelam.
“Gue nggak mau banyak berharap lagi soal laki-laki. Fuck Tinder. Fuck OkCupid. Fuck Netflix and chill. Fuck them all. Gue berhak mendapat kehidupan yang lebih baik. I don’t give a damn if people think I’m selfish.”
“Gue masih punya mimpi. Terserah kalau loe bilang gue delusional. Dan sekarang lihat rencana loe baik-baik, Dut. Balik ke Jakarta, dan berharap keadaan masih sama seperti yang loe tinggal dua tahun lalu. Loe pikir masih bisa ketawa-tawa dengan lelucon yang sama. Nggak ada, Dut. Orang-orang berubah selama loe tinggal di sini, Elo yang gue pikir jadi delusional”
Meledak. Memang hal tersebut yang diharapkan Duta. Dia tak ingin lagi mendengar jawaban abu-abu. Lepas dari garis normatif. Dia paham keputusan Marina tidak mudah. Marina yang dahulu pernah gagal menikah. Marina yang memutuskan meninggalkan karirnya sebagai humas di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta. Kehilangan sosok Ayah saat lulus kuliah. Sementara Ibunya pun telah wafat lantaran kanker. Dua tahun lalu. Sebelum Australia.
Duta tak lagi banyak berbicara. Dia menunggu emosi itu mereda. Dia mengeluarkan apron berwarna gelap lusuh bergaris vertikal dari dalam tasnya. Tali di bagian belakang apron itu telah diikat mati. Entah mengapa Duta tak pernah bisa mengikat tali apron dengan benar. Dia menyerahkan Apron itu kepada Marina.
“Makasih, Mar. Gue nggak akan lupa loe orang pertama yang minjemin gue apron sewaktu gue pertama kali tiba di Melbourne. Cucian piring segunung. Dari dulu loe yang selalu bilang gue mampu bertahan. But I have to go,”
Duta dan Marina paling anti sama hal-hal berbau sentimentil. Mereka berdua sebenarnya tahu hari itu adalah hari perpisahan. Lagipula jarak Jakarta dan Melbourne cuma enam jam penerbangan. Keduanya melangkah keluar dari Little Collin St, dan kembali ke Elizabeth st untuk menunggu tram pulang.
Tram 72 tiba lebih dulu. Duta dan Marina berpeluk sesaat. “Gue bangga sama loe, Mar. Tugas gue selesai sekarang,
Marina enggan berucap macam-macam. Dia hanya ingin meresap momen itu dalam-dalam. Duta melangkah masuk ke dalam tram. Lebih dari empat tahun menjadi fotografer, membuat Duta peka terhadap raut dan emosi pada wajah seseorang. Tak ada mata yang berkaca-kaca. Namun, pastinya, timbul perasaan lega.
Duta memperhatikan jalan dari dalam jendela tram. Dia masih berpikir, bagaimana Melbourne selalu menarik dirinya kembali. Dirinya tak pernah benar-benar menetap lama. Lebih banyak gurun-gurun dan desa di Australia yang ia jelajahi.
Duta ingat betul bagaimana gemerlap kota membuatnya kecewa. Serangan teroris November lalu yang membuat seorang Itali meninggal dunia. Bagaimana mungkin seorang warga Mebourne sejati meninggal ditangan teroris.
Duta gemar memotret orang-orang di jalan. Pesohor, tukang es krim, sekolah, barista, sopir tram, tunawisma, musisi jalan, kasir Coles, pelayan restoran, pebisnis berjas, tukang kebab, turis China, transeksual, laki-laki berotot, cewek dengan warna rambut merah muda, anak kecil dengan kursi roda, petugas perpustakaan, penggalang dana kemanusiaan, tukang bangunan, dan entah apalagi.
Setiap kali Duta memotret orang-orang tersebut, ada yang baik menyapa, dan ada pula yang berteriak tanda tak suka. Namun banyak pula yang mengajaknya berbicara. Tentang pekerjaan, suhu udara, atau bahkan tentang harga kopi. Kadang puisi. Kadang mimpi yang mereka utarakan.
Duta selalu berharap dapat bertemu kembali dengan orang-orang tersebut. Di tempat sama, dengan cerita yang luar biasa sama. Kadang hal itu terjadi. Tapi seringnya hanya bangku kosong yang ia temukan. Mungkin sosok tersebut lenyap, mungkin dirinya sendiri lupa, atau mungkin memang seperti itu hidup harusnya berjalan.
Dengan cara seperti itu sebuah kota membuatnya jatuh cinta. Dengan cara seperti itu juga Melbourne mematahkan hatinya.
Dua Puluh Hari Setelahnya…
Perempuan berhijab itu tengah membersihkan lantai ruangan yang berdinding putih dengan gaya batu bata terbuka. Fatima. Teman satu rumah Marina. Perempuan itu memperhatikan dinding yang berhiaskan sejumlah pigura. Dia baru tiga bulan tinggal serumah dengan Marina, beserta dua penghuni lainnya di sekitar Brunswick.
Fatima belum mendapatkan pekerjaan tetap. Sehingga dirinya dengan senang hati membersihkan kamar Marina serta bagian rumah lainnya. Cukup mudah, dan dibayar pula. Bersih-bersih ini pun ada gunanya. Sebab landlord bakal mengecek rumah sebelum libur tahun baru. Memastikan isi rumah tetap sebagaimana mestinya.
Marina lumayan bersahabat terhadap Fatima, lantaran bersedia memperkenalkan teman-temannya. Guna menambah koneksi Fatima. Namun, baru kali ini Fatima berkeliaran di kamar Marina lebih dari satu jam. Dia memperhatikan sejumlah pigura dengan foto yang sengaja dicetak hitam-putih. Lebih banyak foto acak orang-orang di jalan.
Dia cukup menikmati foto-foto tersebut. Begitu hangat. Begitu cantik. Ada kesamaan antara foto-foto itu yakni tatapan objek foto yang mengarah ke kamera. Pastilah orang-orang ini bersedia difoto oleh… “Tunggu dulu, kenapa Marina tak pernah bercerita soal foto –foto ini, tak juga diakun instagramnya” Fartima bergumam dalam hati.
Perempuan itu kembali fokus membersihkan kamar. Dia melakukan sesuai instruksi. Setiap menemukan barang yang berceceran seperti kertas atau majalah, dapat diletakkan ke dalam kardus di sebelah kanan di dalam lemari.
Kini dia menatap lemari. Sebelah kanan ini, sebelah kanan saat dirinya menghadap lemari, atau sebelah kanan saat dirinya membelakangi lemari.
Ah, mungkin posisi kanan saat dirinya menhadap lemari, pikir Fatima.
Fatima membuka pintu lemari yang bergeser. Seketika langsung menemukan kotak kardus di bawah gantungan kemeja dan baju-baju musim dingin Marina. Anehnya, kardus tersebut tersegel kuat dan bertuliskan sebuah kalimat dengan spidol oranye. DUTA, JANGAN DIBUKA.