Tanami Road : Crossing The Desert

 

Mitsubishi Pajero 4WD melaju dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Mobil itu diikuti oleh Nissan Pathfinder serta Toyota Land Cruiser. Kecepatan dipertahankan sama.  Maksimum 100 kilometer per jam. Tak mudah menjaga ritme selama tiga jam tanpa behenti. Apalagi bukan di jalan beraspal, melainkan tanah merah khas Australia bagian utara

Angin gurun berhembus. Tidak terlalu menakutkan Tapi, tunggu dulu, ini juga tak sepele. Angin membuat debu-debu tanah merah melayang-layang. Selain hembusan alami, angin juga datang dari truk-truk besar (road train) yang melaju dari arah berlawanan.

Jumlah road train yang lewat terbilang sedikit. Namun, setiap mereka bersisian, getaran medium terasa selama lima detik. Selama itu juga ada nafas yang tertahan.

Debu merah  bertebrangan membatasi jarak pandang. Ada kesan sedikit ngeri lantaran timbul ketidaktahuan. Sebab, tak ada yang mengetahui persis berapa jarak antara mobil yang satu dengan mobil yang lain. Dan hanya Tuhan yang tahu kapan angin gurun berhenti membuat kehebohan.

Setiap mobil dilengkapi radio dua arah. Memudahkan komunikasi. Pajero di depan dikendarai oleh Dennis asal Belgia. Sementara Toyota di tengah ditumpangi dua perempuan muda asal Perancis, Cindy dan Claudi. Saya berada di Nissan paling belakang, mobil ini disetir oleh David yang juga asal Perancis.

Termometer menunjukkan suhu 40 derajat celcius. Pukul satu siang, 4 Desember 2018. Langit gurun cerah biru tanpa awan. Meleleh. Bibir pun mulai pecah-pecah.

David sengaja membuka jendela mobil di bagian kanan dan kiri. Tak ada kemewahan dalam mobil milik backpackers. Namun, selalu ada kesan semangat dan tangguh dalam derunya.

David berbicara dalam bahasa perancis dengan Dennis melalui radio. Ketiga mobil pun sepakat berhenti. Tenggorokan ini mengering. Dan kita sama-sama paham. Sama-sama haus, dan sama-sama butuh istirahat sejenak.

Ide melewati jalur Tanami Road ini datang dari David. Dia melempar ide tersebut ke forum backpacker Australia di Facebook, sekitar tiga minggu sebelum rencana perjalanan darat ini dimulai.

Ide David adalah memulai perjalanan dengan riang gembira dari Broome, melalui jalur Tanami Road, kemudian berujung di Alice Springs dan menikmati kemegahan Uluru, di Yulara.

Jalur Tanami Road, dalam perjalanan darat kami, dimulai dari selatan Halls Creek, Kimberley, Australia bagian barat, untuk kemudian berujung di utara area perbukitan  MacDonnell Ranges, Australia bagian Utara. Panjang Tanami Road sekitar 1.035 kilometer.

Jalur ini bisa dibilang jalan pintas dari Kimberley ke Alice Springs, dibandingkan jalur konvensional Stuart Highway. Jarak tempuh hanya dua hingga tiga hari. Itu dengan catatan tak ada halang rintang yang berarti, serta berkendara selama tujuh hingga delapan jam per hari.

Dahulu kala -kemungkinan dua puluh tahun lalu-, jalur ini termasuk salah satu tempat paling terisolasi di Australia. Jalur ini membelah secara diagonal Central Desert Region, Australia. Sehingga sejauh mata memandang, hanya semak-semak dan bebatuan khas gurun. Mayoritas bidang tanah mendatar. Ini membuat efek daratan luas seperti tak berujung.

Tak ada sinyal selular. Jarak antara pom bensin yang satu dengan yang lainnya belasan jam. Pom bensin bukan terletak di sebuah kota kecil,  melainkan komunitas tanah milik suku aboriginal. Sehingga satu-satunya yang kami ingin di urutan terakhir adalah sebuah drama.

 “Are you alright?” tanya saya ke David, “Yes mate. What about you? ” saya mengangguk. Setelah masing-masing dari kami menenggak sebotol air minum dingin, perjalanan kembali dimulai. Saling mengecek. Di antara hiruk pikuk angin, kami lebih banyak diam, tapi juga tak ada yang tidur.

Jadi, apa kondisi perjalanan seperti ini yang kamu bayangkan? Saya menoleh ke David, yang fokus menyetir. Kini, wajah kami berwarna coklat lantaran sengatan matahari ditambah debu tanah yang menempel.

“Ya hampir. Tapi ternyata tidak sesulit yang dibayangkan,” jawab David. Pernyataan itu bukan Jumawa, melainkan spontanitas. Semula, dalam imajinasi kami, jalur ini benar-benar sepi pengendara atau makhluk hidup lain.

Realitasnya, ada road train yang lewat lantaran terdapat sejumlah area tambang milik perusahaan energi terbarukan, MPC. Sesekali kami juga melihat rombongan sapi berteduh di antara pohon-pohon besar. Sapi tersebut menandakan terdapat cattle station yang beroperasi di sekitar Tanami Road.

Dalam imajinasi liar, jika perjalanan ini adalah film thriller, mungkin sudah ada adegan mobil mogok di tengah jalan, dan  kemudian psikopat super keji memburu kami bagai anak kelinci.

Lihatlah gurun tandus yang tak berujung. LatarLatar t yang cocok bagi pembunuh bermodus anomali. Jeritan sekeras apapun tak terdengar. Busuknya mayat  tak bakal tercium. Jejak kematian, kemungkinan, juga sulit terdeteksi.

48 Jam Sebelumnya….

 

“Bayangkan, tiga laki-laki, dan dua perempuan. Skenario yang sempurna. bukan? Kira-kira siapa yang bakal mati duluan?” tanya Saya kepada Cindy. Pukul dua siang. Beer dingin sudah ditenggak. Sementara lalat bertebrangan di antara wajah-wajah kami. Mengganggu.

“Yang akan mati duluan adalah cewek tolol dengan rambut pirang. Well, That’s me,” kata Cindy sambil tergelak.

Siang itu, kami memutuskan untuk berkemah di sekitar Lake Stretch. Danau ini terletak 17,3 km selatan dari sebuah komunitas suku aboriginal, Billiluna. Untuk ke area ini, kami melaju di jalur Canning Stock, yang sedikit menyimpang dari Tanami Road.

Ada alasan mengapa kami sudah berhenti menyetir di siang bolong. Semula, kami berniat mengisi bahan bakar di pom bensin Billiluna. Namun, tak ada satupun yang mengira jika pom bensin tutup di hari minggu.

Seorang suster yang bekerja di klinik terdekat mengundang kami makan siang di rumahnya. Kami bertemu dengan Julie, nama suster tersebut, ketika tengah mencari informasi mengenai pom bensin. Tentu sebagai pendatang di tanah milik suku aboriginal, kami tidak bisa sembarangan.

Setelah makan siang, Julie mengantar kami menuju area camping. Perjalanan sekitar 30 menit. Semula, kami menebak-nebak, kemana Julie akan membawa kami.

Ternyata jalanan Canning Stock ini banyak yang tergenang air. Tetap tak ada sinyal selular. Pun tak ada rencana berkemah di sekitar area ini dalam rencana semula. “Bagaimana kalau mobil kita mogok, dan sebenarnya skenario itu yang Julie inginkan,” kata Cindy.

 “Ya dan ada racun dalam sup yang kita makan,” tambah saya melengkapi skenario opera sabun Cindy. Di film horror, percaya sepenuhnya terhadap orang asing adalah sebuah kesalahan fatal. Sementara dalam realitas, percaya terhadap seorang suster baik hati adalah intuisi alami.

Julie meyakinkan kami, jika jalur Tanami Road masih terbilang aman. Maksud dia, curah hujan belum terlalu tinggi. Sehingga, jalanan masih kering, dan konturnya lebih lebar ketimbang rute Canning Stock. “Nanti, kalau kalian tiba di Alice Springs. Segera telpon klinik. Saya ingin kalian semua selamat sampai tujuan,” pesan dia sebelum kami berpisah.

Pukul sembilan malam suhu udara berkisar 30 derajat. Masih terlalu awal untuk tidur. Masing-masing kami setidaknya telah minum tiga botol beer, segelas wine, setenggak vodka, dan dua batang joint. Benar kata Julie, ketika malam tiba, langit Lake Stretch akan ditaburi bintang.

Menurut cerita penduduk setempat, dahulu kala ada kakak beradik dari suku asli yang gemar pergi memancing di sekitar danau. Ketika mereka tumbuh sebagai laki-laki dewasa, keduanya berpisah, dan pergi merantau ke tanah-tanah asing di luar kampung mereka. Setelah merantau, mereka tetap kembali ke kampung, reuni, dan merawat habitat di sekitar danau.

Saking cintanya terhadap tanah kelahiran, menjelang akhir hayat, kakak beradik ini menjelma menjadi pohon besar di sekitar danau. Penduduk setempat percaya, ikan-ikan di danau dilindungi oleh arwah mereka.

Saya masih menghayal mengenai cerita itu, pertanyaannya adalah siapa yang meninggal terlebih dahulu, sang kakak atau sang adik. Apakah mereka saling berebut otoritas terhadap danau?

Saya pun memutuskan mengatup mata setelah beberapa menit memandangi lautan bintang.  Sebab semakin lama dipandangi, seolah-olah semakin banyak bintang yang berkedap-kedip, bahkan seperti ada yang bergeser ke kanan dan ke kiri. Joint sialan.

Tiga Hari Setelahnya…

 

Tanah merah berangsur-angsur berganti  menjadi aspal. Masih bagian dari Tanami Road. Kontur jalan makin mulus setelah melewati area komunitas, Yuendumu. Dari kejauahan mulai terlihat gugusan bukit MacDonnell Ranges.

Dalam beberapa menit, jalan ini tidak berbelok. Namun naik dan turun seperti ombak kecil. Semacam tali yang ditarik memanjang kemudian dihentakan lalu membuat gelombang kecil.

Oh wow. This is dramatic,” David berkomentar sambil tergelak. Saya mengangguk dan ikut tergelak. Karena, saya tengah memikirkan kata yang tepat untuk menggambarkan momen tersebut.

Saya menoleh ke kiri. Segerombolan kuda liar menengadahkan kepala, dari posisi menunduk. Gerombolan kuda itu pastilah sebuah keluarga. Karena kami dapat melihat terdapat empat kuda besar berwarna putih dan kecoklatan, kemudian dua kuda kecil dengan warna yang hampir sama.

David sengaja melambatkan laju mobil, yang semula 80 kilometer per jam.  Dari radio mobil terdengar Claudi yang mejerit-jerit kegirangan sambil berkata, “Magnificent,”

Saya masih menoleh ke arah jendela sebelah kiri. Menghirup dalam-dalam udara yang saya kenal. Sebentar lagi saya bakal mencium wangi kota yang pernah saya tinggali tahun lalu.

Seekor burung Brown Honeyeater yang memiliki bulu hijau terang terbang bersisian dengan mobil yang kami kendarai. Kecepatan terbang burung ini juga stagnan. Meskipun kecil, warna bulunya begitu mencolok. Kontras dengan latar belakang batu-batu gurun yang oranye, serta tanah merah dan langit biru yang dihiasi awan berwarna jingga lantaran terpapar sinar mentari. Bersiap tenggelam.

Warna hijau pun mencuat dari tanaman Enneapogon polyphyllus. Sejenis rumput musiman yang tumbuh di sekitar area gurun. Tingginya kemungkinan 20 hingga 40 centimeter. “Do you see that! Damn green grass on desert,” komentar David.

Oh man, you gonna love this town,” terang saya. Dari radio mobil mengalun lagu Sunset Lover – Petit Biscuit. Saya tesenyum. David tersenyum, dan kemungkinan Dennis, Cindy, dan Claudi juga tersenyum di mobil masing-masing.

Ada perasaan lega setelah sebuah babak petualangan selesai. Ada pembuktian yang tercapai. Timbul rasa haru dibalik gelak tawa. Bukan, bukan hanya perkara melewati gurun. Detik itu, di momen itu, kami tak berpikir apa-apa selain yang tersaji di depan mata. Begitu hidup. Papan jalan di penghujung Tanami Road kini jelas terlihat dan bertuliskan : Alice Springs 80 km.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *