WA : The Cost of Living in the Middle of Nowhere

 

Langit senja perlahan mengurai warnanya dari emas jingga menjadi serabut merah muda. Manis gulali. Warna langit seperti ini tidak terjadi setiap hari. Dan perenungan saya terhadap eksistensi hidup tak juga timbul setiap hari. Apalagi saat bekerja. Namun, kadar kontemplasi lebih banyak hadir saat saya hidup di –katakanlah- desa. Akhir Oktober 2018.

Setelah menamatkan dua bulan bekerja di Widgiemooltha roadhouse, saya mengambil hari “cuti” selama 10 hari Perth. Kemudian, entah mengapa, saya kembali memutuskan memulai babak baru di roadhouse lainnya. Babak itu saya buka di Nanutarra, masih di Australia Barat.

Ini jarang saya lakukan. Biasanya, saya malas memulai pekerjaan yang hampir mirip dalam jeda waktu yang sempit. Namun. sepertinya bulan September memberi insipirasi. Hati ini mengatakan, bakal ada hal baru yang saya bisa pelajari.

            “Apa yang membuat orang bisa mampu bertahan lama di pedalaman,? tanya saya, kepada manager roadhouse. (sebut saja namanya Matthew)

Itu pertanyaan buat siapa. Kalau pertanyaan itu maksudnya adalah mengapa saya bisa bertahan lama, saya bisa jawab secara realistis. Saya selalu ambil cuti selama sepuluh atau 14 hari, untuk pergi sebentar meninggalkan roadhouse. Rentang waktunya setiap enam minggu sekali. Begitu jawab Matthew. Dia memang tidak suka basa-basi. Pertanyaan lebih bagus langsung ke poinnya.

Matthew melanjutkan, sebelum menjadi manager roadhouse, dirinya juga karyawan biasa. Pekerjaan di roadhouse dimulai sejak 2015 saat dirinya memulai menjelah Australia sebagai backpacker. Itulah pekerjaan pertamanya, dan menjadi pekerjaan tetap hingga saat ini.

Setelah menamatkan status backpacker, di tahun 2016-2017, Matthew menyandang status visa sponsorship, untuk kemudian permanent resident. Kini, dirinya mengincar status citizen dengan passport Australia.

“Jadi ada peluang orang bisa gila, lama-lama kerja di pedalaman,” tanya saya. Sore itu pelanggan roadhouse tidak terlalu ramai. Masih pukul enam sore, sebelum sibuknya jam makan malam yang dimulai pukul tujuh. Jadi orbrolan ini, pikir saya, wajar dilanjutkan.

“Ya secara psikologis, ada penurunan semangat,  kata “gila”  bolehlah dipakai. Haha,” ujarnya seraya tekekeh.

Dia mengerti, kenapa banyak pekerja dari kelompok backpacker yang datang dan pergi. Paling lama bertahan lima bulan. Matthew bercerita, hari-hari cutinya digunakan untuk mengujungi istri dan anak perempuannya di Kamboja. Anak itu berusia dua tahun dan sedang lucu-lucunya.

Saya mengerti apa yang dilakukan Matthew. Menjadi manager sebuah roadhouse yang sibuk tidaklah mudah. Ada tekanan dari atas, bawah, kanan dan kiri. Dia harus menampung keinginan pemilik roadhouse yang beorientasi pada keuntungan, menerima keluhan pelanggan yang terkadang tak masuk akal, serta memahami kebutuhan para pekerja roadhouse dari kalangan apapun.

            Hidup di roadhouse memang terlihat sederhana. Bagaimana tidak. Ketika kerja dan istirahat dilakukan dalam satu lingkup lingkungan. Ketika semua kebutuhan dasar terpenuhi, Saat segalanya mudah terkontrol, dan minim keributan.

Namun, di saat satu atau dua elemen mengalami gangguan, ada sistem yang terguncang. Ada kewarasan yang diuji. Ketika emosi meletup, manusia bakal menamba dunia luar.

“You seen more of Australia than me, Farid. Good on ya, mate,” kata Matthew.

Selain Matthew, para koki roadhouse juga mendapatkan sponsorship. Mereka berasal dari Vietnam. Sebut saja namanya Anna. Sebelumnya, dia memiliki pengalaman bekerja di restoran dan hotel bintang lima di Hanoi lebih dari sembilan tahun.

Kini, Anna telah bekerja selama dua tahun di roadhouse. Dalam rentang waktu tersebut, dirinya juga sempat keluar dari roadhouse beberapa bulan. Hal itu terjadi lebih dari dua kali.

Pemilik roadhouse, kata Anna, datang ke Vietnam untuk wawancara dan melakukan sendiri perekrutan koki roadhouse. Saya sempat berpikir mengapa mereka repot-repot mencari tenaga kerja dari asia ketimbang merekrut koki asal Australia.

“Apa mungkin tenaga orang Asia lebih murah,” tanya saya.

Pemilik roadhouse menyukai masakan dan perilaku orang Asia, jawab Anna. Sebelum saya datang, lanjutnya, koki roadhouse ini memang orang Australia. Tapi entah bagaimana, mereka akhirnya memilih mempekerjakan orang Asia, terutama Vietnam untuk urusan dapur.

Mendengar jawaban itu, saya merasa seperti anak kuliah yang kembali mempelajari dasar-dasar Pancasila. Saya tak bisa menerima jawaban itu bulat-bulat.

Alasan Anna bekerja di Australia memang uang. Dua tahun lalu kesan pertamanya terhadap Australia adalah tanah merah, langit biru, dan semak belukar. Di Vietnam dia memiliki tiga orang anak. Dua perempuan dan satu laki-laki. Rentan usianya sembilan hingga empat belas tahun.

          “Kalau diingat memang lucu, Saya semangat sekali saat berangkat. Bagaimana tidak, Australia negara makmur. Tapi pertama kali datang, bahkan saya tidak sempat melihat Sydney, jadi langsung ke tanah kering Nanutarra ini,” seloroh dia.

Saya tengah mencuci piring saat perbincangan ini terjadi. Anna memotong dadu buah semangka serta apel untuk dijadikan salad buah. Di sebelah kiri meja dapur, ia meletakkan ponselnya dengan mode loud speaker. Terdengar suara anak laki-laki berbicara dalam bahasa Vietnam. Anna menyahut, suara tersebut dengan nada lembut sambil tersenyum. Lalu, nada suaranya berubah seperti sedang menasihati.

Tentu saja saya tidak paham apa yang mereka bicarakan. Namun, saya mampu merasakan nuansa kasih sayang seorang Ibu yang berbicara dengan anak lak-lakinya. Merindu.

 

Broome, 23 November 2018

Pukul enam sore langit Broome berawan. 27 derajat celcius dengan tingkat kelembaban lebih dari 50%. Tapi angin pantai membuat udara sejuk. Matahari pun tidak sepenuhnya tertutup awan.

Delapan ekor unta berjalan beriringan, yang dipandu seorang pramuwisata. Unta tersebut ditunggangi kelompok turis. Matahari tenggelam perlahan, dan para unta berjalan lambat. Magis. Betapapun klise gambaran ini tentang Broome. Namun, saat melihat langsung memang ada aura yang menyejukkan hati.

Saya melihat pemandangan tersebut ditemani seorang kawan baru asal Perancis. Namanya David. Saya baru mengenalnya hari itu, dan kami berbicara soal keinginan dia menjelajahi gurun pasir Tanami, yang berada di antara perbatasan Western Australia dan Northren Territory. Sambil meneguk beer dingin, “Ada kegilaan rencana apa lagi ini ?” kata saya dalam hati.

 

To Be Continued

One thought on “WA : The Cost of Living in the Middle of Nowhere

  • Saya juga kerja in the middle of nowhere mas, Burketown namanya. Awalnya saya mikir gak bakalan bisa betah lama disana, alasan satu-satunya saya terima pekerjaan disana adalah untuk syarat apply second year. Tapi saya salah besar, bos saya, keluarga, dan pekerja lain sangatlah baik, mereka menganggap saya sebagai anak mereka sendiri. InsyaAllah nanti balik Aussie akan kembali bekerja disana. Dan hey yes saya setuju, sunset di Burketown emang indah banget

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *