WA : Widgiemooltha, The Runaway stories

Kaleng Jack Daniel’s Cola itu dibuka dan mengeluarkan suara mendesis. Selalu ada efek seru setiap kali membuka kaleng beer. Setiap kali dibuka, berarti akan ada sebuah cerita baru. Obrolan baru. Malam kian larut. Mungkin itu kaleng yang kelima, keenam, atau ketujuh bagi Drew. Rasanya dia tidak terlalu peduli dengan rona wajahnya yang kian memerah. Mabuk.

Drew tidak menghabiskan makan malamnya yang berupa chiken schintzel ukuran jumbo. Perutnya terlanjur kembung. Tentunya dia tidak sendirian saat menikmati alkohol. Ada Matt dan Jimmy yang kadar minum juga tak kalah heboh. Mereka merupakan pekerja sebuah perusahaan tambang yang tengah mengerjakan proyek pengeboran di sekitar Widgiemooltha, Western Australia.

Widgiemooltha merupakan sebuah desa bagian dari region Goldfields. Bahkan, mungkin populasinya sangat kecil untuk dibilang desa. Letaknya 631 kilometer Perth. Diapit oleh dua desa lain yang lebih besar populasinya, yakni Kambalda dan Norseman. Jika berkendara dari Kalgoorlie, jaraknya sekitar satu setengah jam perjalanan.

Terdapat tiga rumah penduduk tetap di Widgiemooltha. Jumlah itu diramaikan oleh satu roadhouse. Di sinilah tempat saya bekerja. Roadhouse biasa digunakan untuk tempat istirahat bagi para pengendara perjalanan panjang. Namun, saya menyadari roadhouse Widgiemooltha punya peranan lebih dari itu.

Roadhouse ini punya akomodasi motel dan caravan park. Jumlah kamarnya sekitar 16 unit. Dari situ empat kamar digunakan oleh karyawan roadhouse. Sisanya disewa oleh pekerja tambang. Mereka bekerja dengan sistem Fly-in, Fly-out (FIFO). Sistem yang awam bagi pekerja di daerah terpencil. Mereka mampu bekerja 14 hari nonstop tanpa libur, 12 jam sehari, untuk kemudian libur selama sepekan.

Malam itu malam ‘terakhir’ Jimmy, sebelum dia libur. Dengan demikian, malam bisa disulap lebih panjang dari biasanya. Obrolan lompat dari satu topik ke topik lain. Mereka, sebagai seorang yang lahir dan besar di Australia, tertarik juga dengan cerita-cerita backpacker receh macam saya.

Dan, pembicaraan tidak mengalir satu arah. Kini, giliran kami mendengar cerita mereka.

I don’t get it why backpackers want to stay more than one year in Australia. And you did everything you could to get 88 days. That’s insane! tell me, why?”Drew berseloroh.

Australia is freakin’ massive and beautiful, mate,” jawab saya.

Bullshit… come one!,”

Okay. It’s good money. So, make money while travelling. Not bad idea, right?

Don’t get me wrong. But i’m done with this country,” kata Drew.

Kata-kata itu keluar dari pria yang umurnya 27 tahun. Kemungkinan dia telah melewati banyak hal dalam hidupnya. Drew bakal resign dari pekerjaannya sebagai pekerja tambang, yang bisa dibilang good money untuk standar orang australia. Sebagai gambaran saja, gaji rata-ratanya pekerja lapangan tambang yang punya sertifikat minimal AUD 30 per jam.

Pekerjaan itu dia sudah lakoni sekitar 4 tahun. Sebelumnya, dia pernah bekerja sebagai salah satu awak sirkus yang berkeliling Australia selama dua tahun. Terselip ironi, yakni kesan ceria dari perangai Drew, tapi sekaligus ada rona letih.

There’s nothing left for me in this country,” kata Drew. Dia pernah menikah, lalu bercerai. Pada satu titik, pekerjaan yang menghasilkan uang itupun berada di posisi stagnan. November tahun ini, dia berniat hijrah ke kanada dengan menggunakan visa working holiday. Rencananya adalah bekerja di ski resort. Ketertarikan Drew berganti dari tambang emas menjadi salju. Niat laki-laki itu sudah bulat.

Meja bar masih riuh. Pengeras suara yang terkoneksi ponsel pintar mengalunkan lagu 90’an. Bar roadhouse sebenarnya telah tutup sejak 08.00 PM. Kini beer berganti menjadi tegukan spiritz. Di samping Drew, duduk seorang cewek asal Jerman. Namanya Marina. Kemungkinan, saya bakal mengenang Marina sebagai sosok paling drama, sepanjang perjalanan saya selama di Australia.

Marina mengaku tidak punya teman di kota asalnya di Selatan Jerman. Sulit mempunyai teman perempuan. Tidak memiliki hubungan yang erat dengan Ibu dan kakak perempuannya. Baginya pergi berpetualang ke Australia adalah pelarian dan mencari hidup baru.

Saya ingat pada akhir Juli 2018, yang merupakan hari pertama saya bekerja di roadhouse. Itu juga hari pertama bagi Marina. Di hari itu dia menangis lantaran tidak mampu menghadiri perkawinan kakak perempuannya.

Bukankah sangat wajar bila kita rindu dengan saudara sekandung selama merantau. Namun, rindu itu bagai pil pahit yang harus Marina telan bulat-bulat. Karena baginya, pulang berarti tenggelam kembali kedirinya yang lama. Depresi. Lubang hitam.

Lantas dia merangkai rencana jangka panjang selama lima tahun ke depan. Setelah dua tahun di Australia, dirinya bakal merantau ke New Zealand, setelahnya berlanjut ke Kanada, lalu entah mana lagi.

Ada kecenderungan perasaan tidak aman yang kerap meliputi Marina. Setiap kali, seorang rekan kerja memberikan pendapat atas pelayanannya di roadhouse, mulutnya akan tegas berkata, “I don’t ask your opinion,”. Moodnya cepat sekali berubah. Pagi dan siang hari, Marina bekerja sambil mengeluhkan hal-hal sepele. Namun, begitu waktu makan malam dimulai, dirinya mampu menyabarkan kesan ceria.

It’s really hard to understand you, Marina,”

I know. I am complicated person,”

So, are you happy traveling around Australia,

Of course. I do love traveling. If you see me work behind the bar and i keep smiling, it’s a part of my job. But after work, when I go back to my room, I couldn’t hold my tears. Sometimes, it just happen without any f*ckin‘ reason,”

Masing-masing dari manusia punya rahasia. Terkadang, menyimpan rahasia adalah cara manusia untuk bertahan. Untuk melanjutkan hidup.

****************

Akhir September 2018. Siang itu langit Kalgoorlie biru cerah. Musim semi akhirnya datang juga. Dada ini berdegup. Ada perasaan baru ketika menghadapi sebuah kota, setelah dua bulan tinggal di pedalaman. Loki mengantar saya ke stasiun untuk bertolak ke Perth. Loki merupakan pemilik sekaligus manajer, sekaligus koki di Widgiemooltha Roadhouse.

It’s nice to work with you, Farid. Anytime you want to go back to Widgiemooltha, just let me know, okay.”

Saya tersenyum dan berterimakasih. Alasan saya meninggalkan roadhouse adalah ingin kembali menjelajah Australia, terutama bagian barat. Waktu saya tidak lagi bisa dibilang banyak.Masa visa saya berakhir pada Januari 2019. Dan wahai, waktu selalu berjalan lebih cepat dari perkiraan.

Pada tahun kedua di Australia ini, sejumlah pertanyaan terkait hidup di benak saya sudah terjawab. Betapa daya adaptasi manusia bisa begitu menggugah. Namun, pertanyaan yang terjawab akan melahirkan pertanyaan berikutnya.

Semula niat awal merantau ke Australia merupakan tantangan bagi diri sendiri untuk menjelaja dunia baru dan meninggalkan hampir segalanya di Depok-Jakarta. Segalanya yang telah ditinggalkan tentu tidak bisa diharapkan tetap sama, bukan? Karena dunia terus berputar. Orang-orang berubah.

Lantas, siapkah saya dengan segalanya yang berubah ketika pulang nanti? Atau perkiraan itu hanya ada di kepala saya.

To be continued….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *