God Bless Public Libraries

Bibir perempuan itu dibalur lipstik merah oranye. Berlikau segar. Potongan rambutnya pendek dua centi di atas bahu. Manis. Tatanan rambut itu dipadu dengan anting bulat bergaya gypsi yang menghiasai daun telinganya.

“Hi, nice to see you again,” sapa Catherine Coyne. Hari itu dia mengenakan blouse lengan pendek yang senada dengan warna lipstiknya. Cerah. Di kota tengah gurun semacam Alice Springs ini, ada juga pustakawan semacam Catherine. Pikir saya.

Hari itu kami tidak mengobrol banyak. Hanya sapa basa basi belaka. Namun kelak, dua bulan setelah ini, saya menemukan video Youtube berjudul Gojek Girl di Bush Australia. Catherine merupakan dalangnya.

Di kota tengah gurun semacam Alice, ada bule yang paham soal fenomena Gojek Jakarta. Interpretasinya kocak. Bagaimana bisa.

Okay. Stop di sini. Karena saya tidak akan berbicara soal Chaterine. Mari membahas sebuah tempat, yang bukan tujuan para turis untuk pesta pora.  Bangunan yang klasik. Namun, pada negara maju keberadaannya lebih membantu ketimbang mall.

Perpustakaan umum. Di Australia ini, berkatnya, saya menemukan benda fantastis bernama novel grafis. Terdengar berlebihan memang. Namun, sejak tahun lalu, saya membaca novel grafis dalam tahap yang mencerahkan. Berikut daftar penemuan saya serta alasan mengapa perpustakaan mampu menyelamatkan hidup pengunjungnya.

  1. Alice Springs Public Library

LOT 5134 Gregory Terrace & Leichhardt Terrace, Alice Springs NT 0870.  Sangat mudah menemukan lokasinya karena depan KFC. Jika menjadi anggota, kita bisa menggunakan fasilitas internet desktop selama 55 menit per hari.

Suatu ketika, saya tengah mencari bacaan yang ringan. Sebab, otak ini tidak bisa autopilot setelah bekerja enam jam nonstop cuci piring. Secara acak, saya mencari sesuatu yang memikat mata dari sampulnya.

Yes, I do judge the book by it’s cover, literally. Dan mata ini tertuju pada sampul buku grafis yang menampilkan seorang perempuan dengan dada besar. Buku ini berjudul LUBA karangan Gilbert Hernandez. Luba merupakan nama tokoh utama, seorang perempuan berdarah meksiko yang bermigrasi ke California, USA.

And the story was phenomenal. Huge cast. Hiperbola. Banyak kegilaan selaknya opera sabun. When I read Luba, I was like, “What the F*ck is this? Why I never read something like this before?”.

 

Petualangan novel grafis saya pun berlanjut pada The Age of Selfishness: Ayn Rand, Morality, and the Financial Crisis. Buku karangan Darryl Cunningham ini memberikan pemahaman bagaiamana krisis finansial dunia bisa terjadi pada 2008.

Sebuah contoh jenius dari karya novel grafis yang mampu menggambarkan kompleksnya realita ekonomi. Dari sini, saya mulai mengerti, ada wadah yang efektif, visual, sekaligus menghibur dalam menyampaikan sebuah kerumitan dunia.

  1. Katherine Public Library

 

Level 1, Randazzo Centre, Katherine Terrace, Katherine NT 0850.    Lokasinya di depan pusat grosir Woolworths. Di tengah cuaca Katherine yang panas lembab dan gersang, perpustakaan jadi tempat tujuan mencari kesejukan.

Di Katherine saya menemukan Persepolis karya Marjane Satrapi. Ketika 2009, saya sempat tersentuh oleh versi film animasi dari novel grafis ini.

Membaca versi novelnya membuat saya mengerti bagaimana novel grafis menjadi medium ampuh untuk sebuah autobiografi yang menarik hati. Dimana intropeksi diri dilebur dengan humor dan ironi.

  1. Sydney

Saya harus mengakui perpustakaan menjadi tempat pelarian di tengah hiruk pikuk kota besar. Misalnya, untuk tetap terlihat sibuk walaupun sebenarnya menganggur, saya bakal pergi ke perpustakaan. Ini demi meyakinkan diri sendiri, kalau saya produktif meskipun cuma baca koran dan majalah di dalam perpus.

Sydney punya perpustakaan paling tua di Australia dengan desain menawan, yakni State Library of New South Wales. Lokasinya di pojokan Macquire St, tak jauh dari Royal Botanic Garden.

Namun, perpustakaan di surburb Sydney yang punya daya tarik lebih. Ini lantaran perpustakaan tidak menjadi objek foto turis atau youtuber yang ngomong sendiri di depan kamera. Kata lain, perpustakaan menjadi tempat sebagaimana mestinya : minim suara.

Sydney memiliki sistem perpustakaan yang menghubungkan sembilan cabang  di suburb-suburb utama. Artinya, pengunjung dengan mudah membuat kartu anggota cukup di salah satu cabang, yang berlaku di delapan cabang lainnya.

Sembilan perpustakaan menyebar di Circular Quay (Customs House), Glebe, Haymarket, King Cross, Newtown, Surry Hills, Town Hall House (library express), Waterloo dan Ultimo.

Menurut saya, Sydney punya sistem yang paling ramah bagi orang- orang yang hidupnya tak menentu semacam backpackers ataupun tuna wisma.  Sistem perpustakaan Sydney membolehkan anggotanya menggunakan komputer internet selama tiga jam sehari.

Favorit saya adalah Newton, dan King Cross. Pertama, Newton merupakan area paling hipster di Sydney. Haha. Lokasi perpusnya di Brown St. Di sini saya menemukan, Drinking at The Movies karya Julia Wertz. Novel grafis yang berkisah mengenai hidup pengarangnya di New York.

Novel grafis ini, kemungkinan yang paling berpengaruh dalam arti memberikan inspirasi dan menghibur selama saya tinggal di Australia. Novel ini tidak menyinggung sedikitpun mengenai Australia, tapi novel ini menggambarkan perjuangan hidup sehari-hari di kota besar.

Sementara itu, pada perpustakaan King Cross, saya mendapati sebuah ruang publik yang dengan caranya sendiri memberikan kenyamanan. Perpustakaan ini berada di area paling gettho.

Pasalnya, kalau yang hidup atau sering berseliweran di Darlinghurst Road, pasti mengerti bagaimana kawasan berisik ini penuh dengan tempat dewasa semacam rumah bordir, strip club, dan bar. Penghuni Darlinghurst Road juga banyak yang unik seperti drug junkies, prostitusi, gangsters wannabe, pecandu alcohol, dan pastinya struggle backpackers.

Adapun, King Cross library punya dua lantai. Di lantai dua, ruangan didesain dengan sejumlah sofa yang nyaman lengkap dengan socket (colokan). Jendela lumayan besar sehingga cahaya berlimpah masuk dan hemat energi.

Nah, di beberapa sofa, kita bisa menemukan pengunjung setia Darlinghurst yang tidur siang. Yep. Bobok siang, tanpa teguran dari pustakawan. Tanpa cibiran dari pengunjung lain, dan pastinya tanpa bayar apapun.

Sebenarnya saya tidak menemukan novel grafis yang spesial di sini. Tapi, saya sangat berterimakasih pada komputer dan mesin scanning di King Cross Library. Fasilitas ini berjasa, pada masa-masa saya upload dokumen demi keperluan second year working holiday visa.

  1. Melbourne.

Pada perpustakaan di Melbourne lah saya paling banyak menjelajahi dunia novel grafis.

Sebagai informasi, Melbourne memiliki sistem yang hampir sama dengan Sydney. Yakni satu kartu anggota perpustakaan dapat berlaku di sejumlah cabang lainnya. Namun Melbourne membagi cabang-cabang perpustakaan sesuai komite lokal surbub.

Misalnya,  perpustakaan yang termasuk dalam cakupan City of Melbourne library adalah City Library (Flinders Lane), East Melbourne Library, Kathleen Syme Library and Community Centre (Carlton), Library at The Dock (Beautiful Dockland!), North Melbourne Library, dan Southbank Librabry.

Lebih lanjut, ada perpustakan yang masuk dalam daftar City of Stonnington, yakni Malvern Library, Phoenix Park Librabry, Prahran Library, Toorak/South Yarra Library, dan Stonnington History Centre.

Yaudah lah ya, saya tidak perlu berbicara soal megah dan iconicnya State Library of Victoria. Karena favorit saya adalah perpustakaan di Carlton, Docklands, dan Flinders Lane.

 A. Kathleen Syme (Carlton)

Perpustakaan ini punya dua lantai yang dari luar desainnya khas Victorian archietecture. Pada lantai dua, ada pojok khusus novel grafis dan dapur kecil yang dilengkapi kopi, teh instan, microwave, dan air panas keratis.

Di perpustakaan ini, saya menghabiskan waktu membaca karya Will Eisner, yakni New York : Life In The Big City. Dia dikenal sebagai penulis novel grafis pertama dunia. Selain itu, saya juga menikmati Can’t We Talk About Something More Pleasant? Karya Roz Chast.

Lagi-lagi saya menemukan bagaimana tragedi diceritakan dengan humor segar. Kemungkinan hanya  novel grafis, yang mampu menginterpretasikan dengan hormat sekaligus jenaka.

 B. Docklands

Saya kembali menemukan karya Julia Wertz bertajuk Tenements, Tower and Trash pada Docklands Library. Novel grafis ini berbicara soal sejarah sejumlah bangunan di New York, yang diceritakan secara personal oleh penulisnya. It’s mesmerizing for visual.

Karena lokasi di bibir dermaga, perpustakaan ini punya pemandangan istimewa setiap menjelang matahari tenggelam. Perpustakaan Docklands tergolong baru di antara perpustakaan Melbourne lainnya.

 C. Flinders Lane

Lokasinya nyempil pada salah satu gang paling sibuk di Melbourne. Hal itu membuat perpustakaan ini menjadi tempat pelarian paling ciamik di kala hujan ataupun kebelet pipis.

Saya menggemari Flinders Lane bukan lantaran kepadatan pengunjungnya. Tapi lebih kepada fungsinya yang memiliki serangkaian program literatur. Salah satunya adalah diskusi novel grafis yang diadakan sebulan sekali.

Pada diskusi di Juni kemarin, kami berbicara mengenai novel grafis bertema immigran berjudul Swallow karya Joshua Santospirito. Dalam novel ini, pembaca disuguhkan oleh gambar yang bisa dibilang 100% pure art!.

         ****** Saya ingat bagaimana cerita teman-teman backpackers memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat wifi geratisan, ngadem geratisan, makan geratisan, dan ada yang bisa mandi geratisan. Tak ada yang salah dengan hal itu.

Bagi saya, perpustakaan punya arti mencerahkan pikiran sekaligus hidup. Yang ironinya, saya justru menemukan arti tersebut ketika menjelajah Australia, bukan di sekolah dulu, Jakarta, apalagi di perpustakaan daerah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *