Mildura : Immigrants and Dead Backpacker

 

Hawa terasa hangat pada sebuah malam di Mildura, Victoria. Pertengahan Maret 2018. Musim panas masih berlangsung kala itu. Sebut saja namanya Jono. Usia sekitar 50 tahun. Laki-laki asal Yogyakarta ini memilih berbaring di lantai dengan mengenakan celana pendek dan singlet. Biar lebih adem, kata dia.

Saya mau bilang sesuatu sama kamu Rid, nanti kalau ada (orang) yang datang ke rumah ini siang atau sore, dan tanya-tanya soal penghuni rumah sini, bilang saja kamu tidak tahu apa-apa ya. Begitu pesan Jono. Nadanya kalem tapi mengandung rasa risau.

“Ya, saya paham Pak,” jawab saya.

Sebelumnya, saya  sedikit mencuri dengar percakapan Jono dengan istrinya via telepon. Jono menggunakan loud speaker ketika menelpon istrinya. Ini tentu membuat teman sekamarnya, saya, mau tidak mau mendengar percakapan yang seharusnya tidak saya dengar,

Ada yang bilang, petugas imigrasi sedang di Mildura. Jadi dua hari ini aku nggak kerja, kata Jono kepada istrinya.

Ya sudah, kamu di rumah saja, jangan pergi kemana-mana, pesan istri Jono.

Di rumah ini, kata “ilegal” tidak pernah terlontar. Kita sama-sama tahu. Di rumah ini, ada 12 penghuni, termasuk saya. Dua orang Indonesia. sepuluh orang Malaysia. Landlord rumah ini orang Vietnam, yang kata Jono, mengelola setidaknya 18 rumah di Mildura.

Jono merupakan bapak dari empat orang anak. Anak sulungnya sudah lulus kuliah dan diterima menjadi pegawai negeri di Yogyakarta. Anak keduanya masih kuliah semester lima. Anak ketiganya tengah duduk di kelas dua SMP, dan anak paling bungsunya baru kelas dua SD.

Aku sudah tiga tahun di Australia. Pakai visa bridging C. Dulu pertama kali datang langsung ke Springvale, Victoria, terus pindah-pindah tergantung kerja dan musim panen. Aku pernah di Sheparton dan Robinvale, terus daerah sekitar Queensland juga pernah, seperti Mareeba, kata Jono.

Mungkin tahun depan aku pulang. Setelah itu tentunya tidak bisa kembali lagi ke Australia. Tapi Alhamdullilah, ada satu anakku yang sudah bisa menghidupi dirinya. Bebanku mulai berkurang, ujar Jono.

Berdasarkan websiteHomeaffairs.gov.au, A Bridging Visa C (BVC) allow you to remain lawfully in Australia until a decision is made on your substantive visa application. A BVC does not allow you to return to Australia if you leave. BVC has restriction on working. To be considered for a BVC that lets you work, you will usually have to demonstrate that you are in financial hardship.

Susah nggak Pak dapet kerja difarm dengan bridging C, tanya saya suatu ketika kepada Jono.

Itu semua tergantung farm, ada yang mau nerima dan ada yang tidak. Kita dibayar cash-on-hand. Kadang bayarannya lumayan besar. Meskipun ujung-ujungnya tergantung cara kita kerja di ladan. Saya pernah dapat AU$ 2000 per minggu, waktu musim panen asparagus tahun lalu, kata Jono.

Asas kepercayaan. Saya sempat berkesimpulan terkait kehidupan Jono yang ia bangun selama tiga di Australia. Entah itu percaya sepenuhnya kepada Tuhan atau sesama manusia.

Saya habis Rp 90 juta untuk dapatbridging C ini. Daftar pakai agent. Dulu khawatir juga, kalau ditipu bagaimana ini, kenang Jono.

Cara yang Jono pakai untuk bekerja di Australia hampir sama dengan yang digunakan sejumlah warga Malaysia. Berdasarkan apa yang mereka utarakan kepada saya, mereka mengantongiBridging Visa A (BVA). Ketentuan BVA tak jauh berbeda dengan BVC.

Hanya saja teman-teman Malaysia ini mengaku tidak menggunakan agen apapun ketika mendaftar BVA. Sebut saja namanya Andi. Motivasinya datang ke Australia cuma satu, yakni ngumpulkan dollar. Setelah lima tahun di Australia, dia mengaku bakal pulang dalam waktu dekat.

Sudah. Sudah cukup. Lama-lama hidup begini di Australia capek juga. Kampung halaman tetap paling nyaman untuk tempat tinggal.  kata Andi. Dia berencana membesarkan bisnis jual-beli onlinenya saat kembali ke Kuala Lumpur.

Mengetahui sedikit latar belakang penghuni rumah, bagi saya pun sudah cukup. Enggan rasanya bertanya lebih jauh. Takut mereka tersinggung. Takut disangka mata-mata. Namun, pada akhirnya justru kawan Malaysia ini yang bertanya cukup dalam kepada saya.

“Visa Working Holiday (WHV) itu mahal daftarnya?,”

“Seminggu kerja berapa jam? Bayaranya hourly? Bisa dapat $1000 per minggu,”

“Kamu sarjana? Kamu mau kerja buruh gitu? Ke Mildura ikut siapa?”

Kalau lagi mood, saya bersedia menangapi pertanyaan-pertanyaan mereka dengan jawaban-jawaban seperti :

“Murah kok visanya, cuma mesti sabar-sabar prosesnya,”

“Gaji saya cukuplah, mungkin lebih besar gajimu,”

“Iya sarjana. Ke Mildura ikut kata hati,”

Berbicara soal Mildura, sejujurnya, saya tidak pernah memasukkan kota ini ke daftar perjalanan saya selama WHV. Di tahun kedua sebagai WHV holder, saya mulai fokus kembali menggemukan tabungan. Tahun lalu, saya pakai asas “Yaudah kerja apa aja yang ada, yang penting masih bisa bayar sewa kamar dan makan,”

Nah, sementara di tahun kedua ini, saya menggunakan filosofi, “Ini kerjaannya worthy nggak ya? Udah jauh-jauh ke desa begini bakal ngantongi apa?,”

Sesaat menjejakkan kaki di Mildura, sejumlah kawan backpacker yang saya kenal sempat berkomentar, “What are you doing in Mildura. It’s massive shit hole,” #HorribleWork. Lalu ada juga yang bilang, “I heard about scam alot. It took me by surprise you went there,”

Saya percaya, kesialan bisa terjadi dimanapun dan kapanpun. Di kota besar maupun di desa. Bekerja di gedung pencakar langit, restoran dan cafe fancy, ataupun ladang berlumpur.

Namun, apa yang saya alami di Mildura, tidak bisa dikatakan kesialan. Karena kesialan merupakan sesuatu yang tidak bisa kita terima bulat-bulat. Dengan demikian, saya lebih menyukai kata ‘pelajaran’

Pabrik Almond

 

Panggilan telpon dari salah satu agen kerja di pertengahan Februari 2018 membuat saya girang. Kala itu, saya tengah menikmati Melbourne yang sedang cantik-cantiknya.

Dari seberang telpon agen itu berkata, perkerjaan yang mereka tawarkan adalah cleaners di pabrik Almond. Pabrik ini diperkirakan salah satu yang terbesar di Australia. Pabrik ini punya induk usaha yang terdaftar di Bursa Efek Singapura. Mereka memiliki unit produksi dan memasarkan produknya, seperti almond dan coklat tersebar di lebih dari 60 negara.

Sedari semula, agen tenaga kerja ini telah menjelaskan, sistem kerja di pabrik Almond adalah empat hari kerja dan empat hari libur. Jam kerja sebanyak 12 jam per hari. Pabrik berjalan selama 24 jam. Sehingga, grup pekerja dibagi dalam empat kelompok. Setiap kelompok memiliki dua cleaners, yang tugas pokok utamanya adalah membersihkan debu serta kotoran hasil proses pengepakan almond.

Terdengar sederhana memang. Namun, bayangkan mesin berjalan 24 jam, dan mesin tidak berhenti mengeluarkan debu. “It’s gonna very dusty. Are you ready for it?,” kata supervisor di hari pertama pelatihan.

Alat pembersih lumayan lengkap. Mulai dari sapu, air shot, selang, blower, sampai sweeper. Dibandingkan dengan pekerjaan lain di pabrik ini, posisi cleaners tidak memiliki target. Tak ada pula apa indikator bersih atau tidak. It’s never ending job. Maksudnya, saat selesai membersihkan satu area mesin, lalu beralih ke area mesin lain, dan kemudian lanjut ke area pertama dimulai. Pasalnya, bisa dipastikan area pertama sudah kotor kembali.

Sebagai informasi, dalam empat hari kerja yang diberikan, waktu kerja dibagi dua. Dua hari pertama adalah shift siang, dan dua hari sisanya merupakan shift malam. Shift malam, saya akui adalah tantangan terbesar. Shift dimulai pukul 7 malam dan selesai 7 pagi. Yang saya rasakan pada tubuh ini, adalah sebanyak apapun saya mencoba tidur di siang hari, pada akhirnya tetap ada rasa kantuk yang dahsyat dan mesti dilawan saat bekerja malam.

Dan saya tidak lupa malam itu. Pekan pertama April 2018. Mesin perlahan-lahan dimatikan menjelang pukul lima pagi. Tak terlihat supervisor ataupun asistennya yang berkeliaran di dalam pabrik. Seseorang berkata, ada kecelakaan kerja di luar unit pabrik utama.

Saya mengintip dari balik pintu samping pabrik. Mobil polisi sudah terpakir di luar pabrik utama. Jaraknya cukup dekat. Police line pun telah terpasang di beberapa titik di samping pabrik inti. Area ini merupakan area lalu lalang traktor serta truk berisi muatan almond yang bakal diproses.

Seorang pekerja asal Estonia terhimpit traktor, kala ia tengah membersihkan ranting-ranting di area tempatnya bekerja. Bagian perut laki-laki berumur 24 tahun itu terluka parah. Pacarnya menyaksikan ia sekarat. Ambulance datang tak lama kemudian.

Saya tidak melihat langsung kejadian itu. Kemungkinan tidak ada yang benar-benar langsung melihat kejadian di depan mata, kecuali korban dan pengemudi traktor. Supervisor dan sejumlah pekerja yang berada di luar pabrik datang ke area kejadian beberapa menit setelah kecelakaan berlangsung.

Langit pagi menyemburatkan garis-garis merah dengan latar biru gelap. Matahari pagi naik perlahan. Burung-burung terbang berkelompok menyambut hangat sinarnya.

Pemandangan cantik yang kontras dengan tragedi pagi itu. Kelak kami mendapati informasi, pemuda asal Estonia itu meninggal dalam perjalanannya ke rumah sakit dengan helikopter dari Mildura menuju Melbourne.

2 thoughts on “Mildura : Immigrants and Dead Backpacker

Leave a Reply to Fleta Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *