Sydney : Here I Come, Bitcheeessss!

 

 

 

Tatapan mata mayat hidup. Tidak buta, tapi meratap, tidak fokus, namun sebenarnya melihat. Darah kental mengering. Cipratannya melebar di bahu, leher, rambut, dan paling banyak menyebar disekitar mulut. Ini membuat gigi kuning bernanah. Menjijikan.

 

Suhu panas merangkak naik 35 derajat celcius siang itu di selatan surburb Sydney, Kurnell. Kaki ini berjalan terseok-seok dramatis. Ceceran darah juga mengering di bagian betis. Lelah sekaligus haus darah.

 

Saya tidak sendirian. Setidaknya lebih dari 40 mayat hidup berjalan ke satu arah. Membentuk barisan. Bersiap mati untuk kedua kali. Dari depan, peluru membombardir. Senapan para tentara mengarah kepada kepala mayat hidup.  Meledak. Darah kembali muncrat beleberan. Barisan demi barisan mayat gugur berjatuhan. And….. cut! It’s a wrap. 

 

Adegan di atas merupakan bagian dari film anyar garapan  sutradara/aktor asal Australia, Abe Forysthe. Film horror komedi ini berjudul Little Monsters. 13 Desember 2017. Hari itu merupakan hari terakhir syuting yang mengambil latar eastern surburb Sydney. Langit sedang biru-birunya.

 

Sebelumnya, kru Little Monsters telah melakukan syuting semenjak oktober 2017 yang melibatkan puluhan pemeran tambahan sebagai zombie extras. Beruntung saya bisa menjadi salah satu volunteer zombie di hari terakhir syuting film.

 

Meskipun film ini masuk kategori budget rendah. Tapi naskahnya mampu menarik dua aktor Hollywood berpartisipasi dalam Little Monsters. Mereka adalah Lupita Nyong’o dan Josh Gad.

 

Demi ikut syuting, saya rela bohong ke supervisor, Luna Park tempat saya bekerja kala itu. Saya izin tidak masuk kerja karena sakit.

 

Yooo, how often can you play as a zombie in Australia movies?. Walaupun, mana ada yang tahu, cuma kaki atau tangan saya saja yang bisa tampil dalam film. But fu*k it. I take it!

 

Menjadi zombie adalah kegilaan fantasi saya yang menjadi kenyataan. I’m a big fan of horror movies. Saya selalu penasaran bagaimana rasanya berlumur darah palsu di sekujur tubuh. Ohiya, saya, selayaknya para zombie extras punya sejumlah foto selfie di lokasi syuting. Namun kami tidak diperbolehkan upload foto tersebut di sosial media manapun untuk pamer ke teman-teman, sebelum filmnya rilis tahun ini.

 

Bagaimana saya mampu meraih kesempatan menjadi zombie di Little Monsters?

 

Jawabannya banyak-banyakin nongkrong di bawah Harbour Bridge. Lol. Nah. Tiga hari sebelum syuting Little Monsters, saya sempat ambil bagian, (lagi lagi menjadi volunteer extra) di webseries berjudul Mammon (www.mammon.film). I know, right?! Kesempatan kerap datang dari kesempatan sebelumnya.

 

Mammon merupakan sebuah webseries yang, selayaknya project indie, memiliki semangat produksi berkelas meskipun beranggaran rendah. Webseries garapan  Peter Spann ini menampilkan pengisahan yang dramatis, noir, sexy dan stylish.

 

Actor dan para pemeran tambahan berdandan ala 1940’s dan 1950’s. Ada sejumlah adegan kabaret. Tak ketinggalan juga adegan kelahi dan pembunuhan.Very interesting and Bizzare at same time.

 

Tugas para extras di Mammon ini lebih kepada akting joget-joget, pesta-pesta, dan mabuk-mabukan. Saya ambil bagian sehari penuh syuting. Lokasi syuting bertempat di sebuah café yang sangat jazzy di sekitar Oxford st.

 

Pengalaman-pengalaman semacam ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Semula, saya iseng buka-buka gumtree di bagian hospitality job guna mencari kerha tambahan. Namun, entah bagaimana ada postingan nyasar volunteer extra untuk Mammon di bagian ini. Life is always full of surprises, isn’t it!

 

Jujur saja, saya sempat berpikir Sydney bakalan menjadi #ToughBitch dimana orang-orang kota berjalan cepat dan saling sikut satu sama lain. Pada pertengahan November 2017, alasan saya pindah dari Northern Territory (NT) ke Sydney, NSW adalah jengah dengan kehidupan outback. Hah. Dangkal memang.

 

Setelah mengalami tiga kali pemecatan di NT. Pengalaman roadtrip tengah gurun. Jatuh bangun. Pasang surut gersangnya kehidupan. Rasa-rasanya sangat menyenangkan bertemu kembali dengan gedung-gedung… dan melihat kembang api saat malam tahun baru. Cities, however, will never stop being appealing for me.

 

Maka, datanglah saya dengan attitude, “Yo, Sydney. Bring it on!”. Pekan pertama, saya lalui dengan menjadi turis. Jalan-jalan sekitar Opera House, Botanical Garden, Newton, dan Bondi Beach.

 

Saat itu mencari kerja, bukanlah sebuah prioritas utama. Kata lainnya, saya mencari kerja hanya lewat online dan tidak ada usaha mendatangi café atau restaurant sambil menitipkan CV. I know… I should have more effort to find a job.

 

Namun, suatu hari, intuisi saya mengatakan ada sesuatu yang menarik di website Luna Park. Dan kebetulan, sewaktu membuka bagian employment, mereka buka lowongan casual untuk musim liburan Desember 2017-Januari 2018.

 

Saya melamar dua posisi, yakni Food and Beverage (F&B) Attendant dan Ride attendant. Setelah melewati proses audisi (yup, audisi!), screening CV, dan proses wawancara, singkat cerita saya diterima di divisi F&B. Detail kerjanya seperti all-rounders, semisal taking orders, making coffee, scooping ice cream, cash handling, dan sempat juga ngerasain serving alcohol pas malam tahun  baru.

 

It was such an amazing feeling be part of big team. Dan satu keuntungan lainnya adalah, saya bisa naik wahana sepuasnya di Luna Park secara KERATIS. :D.

 

“I like Sydney. But I like Melbourne more,” ujar seorang kawan asal Amerika Serikat kala istirahat makan siang. Di perbincangan klise ini, saya tidak mau terjebak dalam perbandingan antara jeruk dan apel.

 

But I’d love to say Sydney’s like the hot skinny girl who wear designer clothing. She doesn’t have too try hard to get attention. However Melbourne is like cute artsy girl. She’s friendly and show you where the best place to have a cup of coffee. But every cities have their own feeling.

 

Perbincangan saya dengan kawan Amerika ini berlanjut soal rencana-rencana perjalanan di tahun 2018. “Visa tahun pertama gue bakalan habis akhir Februari ini. Gue nggak lanjut ke tahun kedua, karena gue mau coba working holiday ke negara lain, seperti Kanada,” kata dia

 

Kami menyadari bagaiamana waktu setahun terasa berlalu cepat. Saya, kini sudah masuk di tahun kedua berlibur sambil bekerja di Australia. Saya mulai kembali menyusun rencana. Kali ini berharap lebih stabil. Tapi namanya rencana, meski sudah tersusun plan A atau plan B, siapa yang tahu bakal berakhir dengan plan X.

 

Sambil memandang Harbour Bridge dari Opera Bar, saya tersenyum dengan pandangan saya sendiri melihat Sydney selama hidup dua setengah bulan. Jika kota metropolis ini diibaratkan seorang gadis, She’s still act like a bitch, but friendly bitch.

Thank you for having me over to your party.

 

One thought on “Sydney : Here I Come, Bitcheeessss!

Leave a Reply to Best Online Loans Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *