Katherine : Trapped by Irony

 

 

 

“You’ll be fine,” kata seorang laki-laki asli Australia berusia lima puluhan. Namanya Coco. Dia pemilik hostel bergaya rumah kampung tropis yang kerap dikerumuni ayam jago. Katherine, Northern Territory (NT). Rumah saya selama lima minggu.

Kemungkinan, sejauh ini saya mengenang Katherine sebagai kota kecil, yang saya hina dina, tapi pada akhirnya menyelamatkan. Periode dimana saya merasa hawa kuat sebuah ironi.

Dengan Jeep tuanya, Coco mengantar saya dari hostel ke jembatan dekat pusat kota Katherine yang mengarah ke Lasseter Highway. 7 November 2016. Saya memutuskan meninggalkan Katherine, untuk singgah sebentar di Darwin, dan kemudian bertolak ke Sydney.

Atas saran Coco, saya melakukan hitchhiking pukul 10.00 pagi. “You must standing here. And don’t forget to smile. Listen, if you don’t get any lift within two hours. There’s always greyhound bus at 01.00 PM,” ujar dia.

Saya merasa optimistis pada 30 menit pertama berdiri mengacungkan jempol di bawah suhu 35 derajat pagi itu. Lambat laun suhu terus naik. Setelah lewat 45 menit. Saya mulai berpikir, alangkah lebih baik naik bus greyhound, ketimbang berharap ada mobil orang asing mau mengangkut saya.

Begitu hampir satu jam berdiri di tepi jalan, akhirnya sebuah mobil van berhenti. Pengemudinya seorang perempuan berusia lima puluh tahun. “Jump in, mate,” kata Rose. Dengan senang hati, saya masuk ke dalam Van, yang terlihat seperti rumah temporer.

Ada matras, koper yang terbuka dengan sejumlah helai pakaian, dan tentunya peralatan masak. Rose berprofesi sebagai maintenance truk. Pekerjaannya membuat dia pindah dari satu kota ke kota lain. Namun, rumah tetapnya adalah Parlmeston Darwin.

 

Hidup Rose yang berpindah-pindah, meskipun tidak dapat disamakan, tapi esensinya mirip dengan hidup backpacker. Selama dua setengah jam perjalanan Katherine-Darwin, kami mengobrol macam-macam topik. Mulai dari kenikmatan traveling, hubungan politik Indonesia-Australia, sampai pilihan hidup melajang.

Sesekali jika di antara kami lelah bicara, Rose akan menyeruput kopi, atau saya yang melamun. Sepanjang mata memandang hanya semak-semak dan tanah kering. Sekali lagi, saya bertanya pada diri sendiri, apa yang menarik dari Katherine?

Pindah dari Alice ke Katherine bukan tanpa alasan. Pasalnya, saya tergiur dengan peluang kerja di pabrik mangga. Ingat betul, saat pertama kali kaki ini menjejakan diri pada 2 Oktober 2017. Panas. Lembab.

Ketika saya pindah ke Katherine belum ada kepastian dari pihak Job Shop terkait pekerjaan di pabrik mangga. Perlu diketahui, Job Shop merupakan agen tenaga kerja yang legit untuk para backpacker yang ingin mendapatkan pekerjaan di bidang perkebunan serta hospitality.

Pikir saya, kala itu, jika sudah di Katherine, maka peluang untuk mendapat kerjaan di pabrik manga bakal lebih besar. Beresiko memang. Namun, saya punya pengalaman kerja di pabrik (Tasmania) sebelumnya. Maka, datanglah saya dengan begitu percaya dirinya ke Katherine.

Kenyataannya, saya menganggur tiga minggu selama di Katherine. Ini lantaran pabrik terdekat dengat tempat tinggal saya di Katherine butuh waktu lebih lama untuk memulai produksi secara masal.

Pertengahan Oktober pabrik manga Sevenfield berproduksi. Betul saja, mereka tak menyia-nyiakan musim manga ini. Jam kerja per hari rata-rata 11, 12 hingga 13 jam. Kerjanya seminggu penuh tanpa hari libur.

Inilah pekerjaan yang paling menyita energi saya di Australia. Dengan jam kerja panjang itu, para pekerja dituntut mengepak manga dengan kecepatan yang stabil dan wajah yang antusias. Masuk akal? Ya mungkin saja kalau pekerjanya robot.

Konsekuensi dari jam kerja panjang itu adalah pundi-pundi dollar yang, alhamdulliah, mendongkrak tabungan. Kegirangan ini diimbangi dengan badan yang pegel-pegel.

Sayangnya, euforia ini dipatahkan, lagi-lagi dengan SMS pemecatan. Kali ini tanpa penjelasan yang berarti. Hanya dua minggu saya bekerja di Sevenfield. Pihak Job Shop pun tidak memberikan keterangan kenapa saya diberhentikan. “They said, they just don’t need you anymore.”

Patah hati. Seorang teman backpacker asal Israel yang juga dipecat menyarankan saya untuk mengkonfrontasi manager pabrik. Teman saya ini memang melakukan itu. Dia menelpon manager pabrik di depan saya, dan terus mengulang pertanyaan. “Why you fired me,?”

Sang manager pabrik bilang alasan pemecatan adalah “too slow”. Alasan, yang menurut teman saya ini, terlalu dibuat-buat. Setelah dia menutup telpon. Dia berujar, “you wanna call him?”

Saya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Mungkin karena masih dalam fase terkejut, atau mungkin tengah memikirkan cara yang lebih elegan ketimbang marah-marah via telpon.

Semula, saya pikir, mungkin seru juga, kalau nelpon manager dan membombardir dengan pertanyaaan-pertanyaan menohok semacam, “Jadi loe mecat banyak pekerja asia, karena kita nggak punya badan gede?”

Atau.. “Loe pikir karena kita Asia, kita nggak ngerti bahasa Inggris?”

Atau.. “Ohh jadi karena kita statusnya backpacker, yang loe pikir kita nggak bisa complain atau nuntut banyak?… loe sadar nggak banyak yang merasa tereksploitasi? Ada pekerja perempuan yang nangis-nangis di pojokan sana karena kelelahan.

Namun, saya memutuskan tidak menjadi dramatis.  Esok paginya, saya memutuskan pergi ke toko kelontong membeli kartu ucapan. Saya memilih kartu ucapan dengan gambar dua anak anjing lucu. Dan saya menulis…

 

Dear Ben,

How are you?

 

Thank you for gave me a job at your factory for two weeks. Honestly, I hope to work longer. Those beautiful mangoes still interesting for me. You have put me in second grade mango machine about last three days. This was challenging. Because this machine is the fastest among other and sometimes very difficult to handle by only two people.

 

I did my best. And yes, I did some mistake. But I learnt. Actually, it’s quite fun work at your factory. Because there was a lot of support from other workers, who said “We  need more muscle here, so please be fast!” or “Hey mate, you have to run,”

 

But, I won’t complain too much. Because it won’t make it easier, and you have responsible and manage a lot of things. Maybe too much demand from workers, and sometimes you have to deal with  broken machines.

 

Well, I’ve talked to Jobshop people about why there’s no job for me at Sevenfield. There’s no specific reason. I didn’t blame them. They did good job.

 

I was quite surprise that I was fired via text message, instead face-to-face speaking or simple phone call from you. But it’s already happen, tho. I understand managing a factory is challenging work. And I believe you’re trying to do your best. Harvest mango season is short but very busy. Good luck, ben. Good on ya, mate.

 

Surat ini saya titipkan ke teman backpacker asal Jepang yang masih bekerja di Sevenfield kala itu. Tidak ada harapan muluk-muluk surat bakal dibalas. Dibaca sekilas saja sudah syukur.

Dua minggu kemudian, teman saya ini mengirim pesan lewat Facebook. “Hi Farid. How are you? Sorry for late reply. I sent your letter to Ben. He said sorry,”

Dalam dunia ini, ada sebuah pilihan dalam menerima pesan, yakni read (percaya) atau delete (mengabaikan). Saya memilih yang pertama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *