Northern Territory : First Roadtrip

Namanya Hernan Cabrera. Backpacker asal Chile. Pertengahan Juni 2017, dia pasang pengumuman di grup Facebook Melbourne Backpacker. Intinya mencari travelmate untuk pencarian kerja di Northern Territory (NT) guna memenuhi syarat ekstensi visa working holiday untuk tahun kedua (second year visa).
Ketika itu, saya tengah merumuskan strategi untuk pindah dari Melbourne. Sejujurnya, NT bukan prioritas tempat saya mengejar syarat second year. Pilihan saya semula tertuju pada Queensland bagian atas seperti Cairns, dan Western Australian bagian atas seperti Broome.
Tapi Hernan muncul dengan Ide yang masuk akal, yakni menempuh perjalanan berjarak 2.256 km Melbourne-Alice Springs dengan melintasi national highway. Kota—kota yang dilewati adalah Adelaide, Port Augusta, Coober Pedy, Marla, dan kemudian singgah di Uluru.

“I don’t have much time. My first year visa will expire this October. My idea is to stop at any roadhouse from South Australia (SA) and NT border. We’ll ask for any hospitality job there,”

Begitu kata Hernan. Saya baru bertemu dengannya dua hari sebelum tanggal keberangkatan. Menurut dia, jika kita gagal mendapatkan pekerjaan di Alice Springs. Roadtrip ini akan terus berlanjut hingga Katherine atau Broome.
Roadtrip ini turut menyertakan seorang cewek asal Jerman bernama Denise. Dia bukan WHV, melainkan pelajar. Masa studnya sudah menjelang akhir di Melbourne. Motivasi dia ikut roadtrip semata ingin traveling menuju Uluru, untuk kemudian bertolak ke Sydney.
Mobil Hernan, yang merupakan Mitsubishi dengan model holden sudah hampir penuh. Barang-barang dia mulai dari ransel, kompor dan kursi portable, baju, sepatu, sampai bantal berjejalan di bagasi belakang. Begitu juga ransel milik Denise, yang sebagian barang-barangnya ditumpuk di kursi tengah. Satu kursi tengah samping kanan disisakan untuk saya duduk.
Kalau ditanya pengetahuan saya mengenai rute ataupun tempat-tempat pemberhentian sebelum mencapai Alice Springs, maka saya akan jawab Nol Besar! Hah. Saya sengaja tidak googling. Ini memang kelebihan saya, yakni membiarkan apa yang terjadi tanpa membayangkan sebelumnya. Supaya ada efek mengejutkan.
18 Juni 2017. Setelah meninggalkan Melbourne, kami bermalam di area Bells Beach, Great Ocean Road. Mungkin karena mendung, sehingga pantai ini, dimata saya, tidak terlihat “great enough”
Adelaide lah yang menarik bagi saya. Mungkin karena dasarnya anak kota, maka saya senang-senang saja, meski cuma dua malam di Adelaide. Versi mini dari Melbourne. And I love Art Gallery of South Australia. Kota ini juga punya senja yang cantik. Saat langit yang berawan seketika berubah menjadi jingga dicampur dengan merah muda. Di antara gedung-gedung bertingkat, yang tidak sumpek. Di antara lalu lintas kota, yang tidak terlalu padat.

Selama perjalanan ini, kami mulai mengenal satu sama lain. Hernan, bagaimanapun, dia kapten Roadtrip ini. Punya berbagai ide yang kerap dilontarkan untuk jadi bahan pembicaraan. Ini penting. Sebab, jalan tol semacam Stuart Highway, yang lurus-lurus saja menyebabkan orang cepat mengantuk.
Lewat perbincangan, ini yang saya ketahui soal Hernan. Dia punya aksen Inggris Amerika yang lekat. Lulusan Universitas di Chilie dengan konsentrasi Fisika. Pernah ikut program pertukaran pelajar dengan Universitas California. Umurnya 25 tahun. Pernah jadi guru Fisika SMA di Chilie. Sempat nge-date sama salah satu muridnya. Ikut Choir. Hafal hampir semua lagu di Glee.

Di Australia, He’s been through a lot. Delapan bulan di Melbourne. Rumah tempat dia tinggal di area Brunswick pernah kebakaran pada pertengahan April 2017. Sempat menganggur tiga bulan di Melbourne. Sempat ikut program “kelinci percobaan” di bidang kesehatan. Kelihatannya sih bahaya, tapi kata Hernan, dia cuma berbaring di kasur, disuntik, dikasih obat, tanpa efek samping berlebihan. Bayarannya pun lumayan gede, over $1.000 per week.

Sementara Denise, pengalaman internasionalnya lumayan banyak. Umurnya 27 tahun. Selain di Jerman, dia sempat mengenyam pendidikan di Netherland. Latar belakang pendidikannya Ekonomi Bisnis. Punya pengalaman ikut program Au Pair di Los Angeles, US selama dua tahun. Ya, 24 bulan!!
Di Melbourne, she had creepy experience. Suatu ketika, di tengah malam yang hujan lebat, Denise menumpang mobil stranger di sekitar St Kilda beach untuk pulang ke daerah CBD. Entah karena dia cukup berani atau lumayan innocent, Denise tak berpikir macam-macam, saat ada laki-laki Australia memberi tumpangan di tengah jalan.
Hingga pada suatu persimpangan jalan menuju city, saat dia meminta berhenti, pengemudi itu tetap melaju mobilnya dengan kencang sambil berkata “No, you can’t stop here, we gonna party sweet heart,”
Seketika itupun Denise sadar, Oo ow, he’s a psychopath! “Hey crazy, i’m gonna scream now” Di traffic light, sambil menggebuk-gebuk kaca mobil minta pertolongan pengendara mobil lain. Panik. Denise pun akhirnya diturunkan.
“I love Melbourne, but that was the scariest moment in my life,” kenangnya.
Okay, kembali ke cerita roadtrip. Lake Hart merupakan tempat favorit saya. I reckon this place is one of those surreal places in Australia. A great place to stop from Woomera to Coober Pedy. The scenery is stunning and worth a walk down near the salt flats!


Coober Pedy juga menarik. Sekilas nampak seperti kota mati. Tapi sebenarnya, kota ini hidup karena Opal mining. Banyak tersebar hotel underground, dimana hotel dibangun di tengah perut bukit-bukit bebatuan.
Bukan roadtrip namanya kalau tidak mengalami hal tak terduga. Selama seminggu perjalanan, kami memutuskan tidur di dalam mobil, yang parkir di area yang kami pikir aman. Dua kali polisi mendatangi kami tengah malam. Pertama di pinggir danau sekitar Port Augusta, dan kedua di lapangan golf sekitar Alice Springs.
“Hey, mate. Do you know this is a golf course, not camping area,” kata polisi
“No, we dont know. Sorry..” We’re lied.
Setelah melewati border SA/NT, saatnya saya dan Hernan berburu pekerjaan. Ada sekitar empat roadhouse yang kami datangi. Tiga roadhouse menyatakan belum membutuhkan karyawan tambahan.
Singkat cerita, ada satu roadhouse, yang berlokasi di Lasseters Highway, jalan tol menuju Uluru. Ketika kami bertanya soal pekerjaan, manager roadhouse tersebut bilang, “Yes, we have vacancies, for one people. But might be two,”
Setelah diberi penjelasan mengenai job desk sebagai all-rounders, termasuk juga soal gaji, Kami diberi lembaran police check. Ini untuk diisi jika memang kami berminat terhadap pekerjaan tersebut. Kami sempat bertanya kepada manager, apakah dia butuh resume kami sebagai bahan pertimbangan.

“No, I dont need your CV or Resume. That’s a bullshit things, you can come back to us, if you interested with the job a soon as possible”

Setelah dari roadhouse itu, kami tetap bertanya pekerjaan ke roadhouse berikutnya di sekitar Lasseters highway. Kata Hernan, supaya kita punya pilihan kalau ada pekerjaan yang lebih baik. Menurutnya, sebisa mungkin jangan terlalu terlihat excited di depan employers, karena itu menandakan kita sangat butuh pekerjaan… meskipun kenyataannya memang demikian.Damn it!
Esok paginya, kami tiba di Uluru. Saya merasa ada momen magis. Hari itu adalah 24 Juni. Tepat hari raya Idul Fitri. Segalanya berjalan hampir sempurna. Maksudnya, tidak ada hal-hal major yang merusak roadtrip ini. Tidak ada malfungsi pada mobil Hernan. Tidak ada perdebatan di antara kami bertiga yang cukup signifikan. Lebih dari itu, tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan pekerjaan.

Saya, dan Hernan, di antara megahnya Uluru mulai sedikit curiga, seperti ada yang salah dengan keberuntungan itu…

to be continue….

2 thoughts on “Northern Territory : First Roadtrip

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *