Melbourne : You Should Bring Life Jacket

“Good luck, kid”
Ucapan itu terlontar dari seorang supir truk asal Vietnam yang telah hidup di Australi lebih dari 30 tahun. Nama “bulenya” Michael. Usianya sekitar 50an.
Dia adalah imigiran yang lari dari Vietnam saat usianya belasan. Tahun 1960an. Periode ketika gejolak komunisme banyak melanda negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Obrolan ini terjadi di pagi hari. Pertengahan Juni 2017. Pekan terakhir saya bekerja di salah satu restoran cepat saji yang menyajikan makanan khas Jepang di Melbourne. Pukul 10.30 AM, biasanya truk logistik datang menyalurkan keperluan restoran.
Michael tahu saya akan segera resign. Padahal, saya belum dua bulan menjadi kitchen hand di restoran ini. Saya memutuskan untuk pindah dari Melbourne ke Northern Territory (NT) untuk mengejar yang namanya syarat second year working holiday visa.
Saya ingat pertama kali bertemu Michael, yakni pada pekan kedua saya bekerja di restoran. “I know, you don’t really know, what you’re doing now. But you’ll learn,” kata dia.
Restoran cepat saji ini punya empat cabang di CBD Melbourne, dan satu warehouse di sekitar suburb. Manager ditempat saya bekerja ini terkenal keras, kata lainnya galak. Hah. Hampir 70% yang bekerja di restoran ini berasal dari Indonesia, 30% lainnya dari Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Manager restoran ini orang Malaysia.
Manager ini tipe orang yang ingin pegawainya lansung pintar di hari pertama bekerja. Yang pastinya, hal ini tidak ada pada saya. Apalagi, ditambah faktor zero experience saya di dunia hospitality. NOL besar.
Pekerja kitchen hand yang saya lakukan kemungkinan terdengar sederhana, yakni cuci piring dan memanggang ayam. Tapi coba bayangkan, pekerjaan tersebut harus dilakukan dalam kecepatan di luar normal. Haha (mungkin saya yang berlebihan).

Di antara obrolan pelaku WHV, Melbourne adalah kota yang punya segudang peluang sekaligus kompetitif dalam mencari kerja. Banyak yang hingga tiga minggu atau satu bulan rajin menyebar CV, tapi masih menganggur.
Dalam kasus saya, setidaknya saya menyebar CV ke restoran, café, serta toko retail selama 10 hari. Di hari ke kesebelas saya mendapat panggilan kerja. Lalu di hari keduabelas saya di Melbourne, saya mulai bekerja. Jam kerja yang diberikan mulai dari 20 jam per minggu, lalu menjadi 25 jam per minggu, dan naik lagi 30-35 jam per minggu. Rate atau gajinya $ 14 per jam, before tax.
Kecil? Iya banget kalau dibangdingkan dengan gaji pekerjaan di pabrik atau farm. Yang lebih sedih, ada restoran di Melbourne yang menggaji karyawannya $10 per jam. Keterlaluan? Iya banget. Tapi toh, karyawan di restoran itu tetap banyak yang bertahan. Ini, asumsi saya, karena faktor kompetitif pencarian kerja di Melbourne. Dan faktor “daripada nganggur”

You have to compete with people around the world. If you try to find a job as a wait staff in some fancy café. You’ll compete with Zayn Malik or Jennifer Lawrence Looks-Like.

Saya nggak mau bilang penampilan adalah segalanya. But, yes darling, beauty beats brain, anyday! Ohiya jangan lupa faktor bahasa.
Mungkin bisa lebih gampang bagi WHV asal Inggris atau Amerika mengantongi pekerjaan hospitality. Tapi tidak sesederhana itu juga. Sometimes is about attitude as well.
Saya ingat ada backpacker cewek asal Inggris yang posting cerita di blognya soal pontang panting mencari kerja. Dia sempat terbuai glamornya kehidupan kota. Sampai di satu titik, dia menyadari uangnya lenyap ditiup angina musim dingin.
Cerita cewek ini nggak terlalu beda jauh dari backapacker lain. Mulai dari janji-janji manis manager café, pekerjaan Sales yang butuh muka tembok, hingga tawaran pekerjaan professional massage plus plus.
Struggling pun bukan melulu urusan mencari pekerjaan. Tapi juga terkait sosial. Dalam hal ini mencari teman.
Kedengeran aneh nggak sih? Atau kedengeran familiar? Soal susahnya mencari teman di kota besar. Apalagi ini Melbourne, most lively city in the world.
Loneliness. That’s true. Jika anda pendatang baru di kota dan ingin mendapat teman, sehati dan sepenanggungan, saran saya : jangan kebanyakan menghayal.
Di awal musim dingin kemarin, seorang cewek backpacker asal Jerman “Menjual” diri di Facebook. Jual diri cewek ini lumayan asik. Ada sebuah forum di Facebook bernama Fairy Floss. Biasanya, di forum ini orang bertukar informasi soal properti, alias tempat mencari dan menyewakan flat serta share house.
And this girl, with that genius idea, mencari yang namanya teman di Fairy Floss. Selayaknya iklan, dia mencatumkan karakter dirinya dengan nada humble sekaligus penuh humor. And this girl got a tons of like with a hundreds comments.
Yang semula cuma sebuah postingan, akhirnya membuka diskusi. Bahkan orang Australia atau warga Melbourne sendiri mengakui, orang-orang kota terlalu takut bersikap ‘lemah’ atau enggan mengakui kalau butuh teman.
Di sisi lain, banyak yang percaya, sekalinya mendapat teman sehati di Melbourne serta pekerjaan yang stabil, orang bisa ‘stuck’ di Melbourne, nggak cuma setahun atau dua tahun… it could be forever.
Saya pun percaya itu. Kota besar ini masih punya hati. Melbourne have my spirit. I shall return, someday. You know, I will

One thought on “Melbourne : You Should Bring Life Jacket

  • Melb keras ya, ga seperti depok. Hihi..
    Meski ente sbtr di sana, melb membekas ya. Terasa dr tlsan ente. Bencibencirindu 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *