Songkran Terasyik Itu Terjadi di Khaosan Road

Tiga perempuan itu berjalan kaki menyusuri Ratchadamnoen Road. Saya di antara mereka. Hampir tengah malam ketika bus yang kami tumpangi menurunkan kami dekat kawasan alun-alun Sanam Luang.

12 April 2015. Sepanjang hari berkeliaran di Bangkok. Menelusuri kemegahan Grand Palace di, mengintip kuil budha berbaring (Wat Pho Temple), sampai menyambangi tempat anak gaul Bangkok : Asiatique The Riverfront.

“Kalau kursus bahasa Inggris LIA buka di sini, bisa banyak peminat kali ya. Ternyata banyak orang lokal, pas ditanya soal alamat, mereka jawabnya dengan bahasa mereka sendiri atau malah menghindar,” kata Annisa. Perempuan ini masuk angin pada hari pertama perjalanan kami di Bangkok.

“Besok-besok kita nanya jalan sama orang yang pakai baju rapih aja. Jangan lagi nanya sama bocah yang naik motor semacam cabe-cabean,” saya menimpali. Seorang laki-laki pemalas, yang cuma bisa bercanda sarkas.

Malam itu, Walda, teman Annisa yang sebetulnya banyak berperan. Perempuan ini gigih bukan main soal mencari jalan pulang. Dia tidak segan-segan bertanya sana-sini. Sigap saat menunggu shuttle boat di tepi sungai Chao Praya, hingga menemukan bus pulang menuju Khaosan Road.

Bangkok hari itu tidak sepenuhnya panas. Chao Praya menadah air hujan. Hari itu kami berjanji untuk tidak lagi menggunakan jasa tuk-tuk. Sehari sebelumnya, kami kena omelan sekaligus kena tipu sopir tuk-tuk.

I told you to stay about 15 minutes on jewellery shop. Why you don’t listen to me,”Saya bercanda menirukan nada ketus si abang tuk-tuk. “Udah dia ngomel gitu, Si Walda pake ngejawab pula ‘No, you don’t understand, they tell us to go because they know we don’t buy anything.”

Setiap membahas kejadian tipu menipu si abang tuk-tuk, kami terbahak-bahak. Sedari awal, saya curiga. Bagaimana bisa dengan tarif lumayan murah, tuk tuk ini bersedia mengantar pelancong jalan-jalan mengitari banyak tempat wisata. Layaknya abang becak di Yogyakarta. Abang tuk tuk bisa mengantongi komisi yang lumayan dari para pemilik toko cinderamata di Bangkok. Saya berasumsi.

Malam itu, jalan kaki selama 20 menit terasa enteng jika diiringi tawa. Kalau malam itu kami di Jakarta, pasti ojek sudah menjadi pilihan kendaran pulang. Apabila malam itu kami di Jakarta, bisa jadi salah satu malam terasik dalam hidup terlewati.

Apa definisi malam terasik? Begini, pernah merasakan satu kesenangan yang benar-benar murni kesenangan? Selayaknya gerombolan anak SD yang main hujan-hujanan selepas pulang sekolah. Kesenangan yang bersifat komunal.

Di usia 20an ini, malam terasik kami untuk senang-senang itu terjadi di tengah waktu cuti yang cuma tiga hari. Di sela budget travel yang pas-pasan. Dan di antara orang asing yang tidak saling kenal.

Kami merasakan kesenangan itu di Songkran. Sebuah perayaan tahun baru tradisional Thailand. Setiap tahun rutin dirayakan hampir satu pekan. Tahun ini perayaan itu jatuh pada pertengahan April. Songkran merupakan pekan paling menggembirakan. Sebuah perayaan yang memperbolehkan orang menyiram air ke orang lain dengan suka cita. Kebetulan, ini merupakan Songkran pertama kami.

Hati mulai deg-degan, selama 10 menit sebelum sampai di hotel D&D Inn, Khaosan Road, tempat menginap. Pemandangan sepanjang jalan adalah rombongan anak muda yang basah kuyup dengan wajah mereka diolesi tepung. Tapi sebagian anak-anak muda itu seperti kelompok penonton konser yang pulang sebelum jam 12 malam.

Pikiran ini menembak-nebak. Jangan-jangan pesta itu telah berakhir. Jangan-jangan kita terlalu sibuk berkeliaran, dan melewati acara utamanya.

Tapi Bangkok, bagaimanapun adalah tuan rumah yang baik. Setiba di ujung Khaosan Road, kaki yang pegal ini rasanya ingin berlarian. Muka yang kusam ini tiba-tiba sumringah. Tubuh ini rela menerima semprotan air dari berbagai penjuru jalan.

Festival Songkran biasanya dipusatkan di satu area. Salah satu area yang populer adalah Khaosan Road. Wilayah ini kemungkinan jadi menarik, karena menjadi pilihan tempat menginap para backpaker di Bangkok dari berbagai belahan dunia. Cari paling manja menuju Khaosan Road dari Don Mueang Airport adalah dengan menggunakan Taxi. Jaraknya sekitar 45 menit sampai satu jam.

Sebenarnya perjalanan menuju Khaosan Road bisa juga ditempuh dengan menggunakan bus, atau sambung menyambung menumpang BTS Skytrain. Tapi, Bangkok bukan Singapura. Rute BTS dan bus di sini cukup membingungkan.

Lantaran menjadi pusat nongkrong backpaker, kemeriahan dan gegap gempita Songkran di Khaosan Road disesaki oleh orang dari beragam ras dengan berbagai keunikan perangainya. Sebut saja gerombolan cowok berperut sixpack dengan aksen british. Ada juga gerombolan warga Amerika Latin, yang mahir menggoyangkan badan.

Belum lagi kelompok Asia yang niat pakai seragam dengan pistol air berbentuk tokoh kartun lucu. Saya bahkan sempat melihat cowok berkulit gelap lumayan serius menggunakan pistol air. Dilihat sekilas, bukan bermaksud rasis, wajah laki-laki itu cukup bengis juga.

Bahkan, ada dua sejoli yang masih sempat-sempatnya bermesraan, berciuman, berpelukan di tengah hiruk pikuk itu. Air bagaimanapun adalah elemen yang menyegarkan. Rasanya memang seperti ingin buka baju saja.

Yeaay, tonight could be my best night,” jerit Annisa. Saya, dia, dan Walda berjingkrakan, Musik top 40 terus didengungkan dari setiap sudut kafe Khaosan Road. Kami minum bir dingin, makan sate, dan lupa dimana Meita, kawan kami yang paling muda. Usianya belum 25 tahun.

Dia terpisah, ketika ada segerombolan cowok bule heboh ‘menembaki’, saat amunisi pistol air kami ini sudah habis. Dia lebih dahulu kembali ke hotel. Kelak, kami akan menemukan Meita di hotel dengan baju tidur model jumpsuit bercorak bunga-bunga.

Mengisi amunisi air adalah cara paling dasar untuk survive di tengah gempuran Songkran. Kita hanya tinggal mengeluarkan 5 Thai Bath untuk membeli air di penjual minuman eceran. Songkran punya aturan, air yang digunakan untuk menyemprot adalah air bersih. Selama perayaan, warga juga dilarang mengguyur air ke polisi.

Tapi karena peraturan terkadang hanya sebuah peraturan. Saya sempat merasakan semprotan air dengan rasa soda. Annisa juga berani semena-mena menyemprot air ke polisi yang menjaga perayaan itu tetap aman. “Mumpung di negara orang, kapan lagi,”ujarnya.

Malam itu, tiga jam main air lumayan membuat pegal. Rasa lapar mengetuk-ngetuk dinding lambung. Kami kembali ke hotel. Hari sudah berganti, pukul setengah tiga pagi. Makan pop mie, pergi tidur, tapi jantung Khasoan Road selalu berdetak.

Esoknya, sepanjang hari kami kembali jalan-jalan di pusat kota. Yang saya tidak pernah lupa adalah bagaimana Khaosan Road kembali penuh sesak, tepat ketika waktu check out dari hotel. Bayangkan, membawa koper dan ransel, dan harus menembus himpitan orang yang basah kuyup. Sore itu jalanan padat. Kami mengejar pesawat.

Where you wanna go?,” tanya seorang kawan Thailand. “We want to go home,” jawab Annisa. “Why do yo go home,” pertanyaan itu sulit juga dijawab.

Senja kuning kemerahan turun. Pesta belum usai. Masih ada keinginan untuk melebur. Setengah hati ini rasanya tertinggal, di tengah jalan menuju airport. Sampai jumpa lagi, saya harap, tahun depan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *