CONFESSION : Bromo

Sebagian teman saya mengetahui cerita ini. Tapi dengan tulisan saya akan membuatnya sebagai pengakuan. Bukan hal yang saya banggakan. Dan bukan hal yang patut untuk ditiru.

Tiga tahun lalu (3 November 2013), saya mengalami demam dua hari. Ketika itu, saya pikir hanya demam biasa. Badan lemas, tenggorokan sakit, dan gejala seperti akan terkena flu.

Selama dua hari itu saya bekerja seperti biasa. Karena level demamnya masih mampu membuat saya beranjak dari tempat tidur, liputan, dan menulis berita. Pikiran saya ketika itu, “deman ini bakal segera mereda, dan sebentar lagi hari-hari cuti telah menanti. Bromo,Kawah Ijen, dan G Land segera di depan mata,”

Kejutan hadir keesokan hari. Saya bangun, cuci muka, dan demam memang sedikit mereda. Tapi muncul bintik-bintik merah di bagian perut, sebagian paha, lengan, leher, dan wajah. Jumlahnya belum banyak tapi gatal meradang. Detik itu juga saya sadar terkena cacar air, untuk pertama kalinya

Jam 8 pagi, saya pergi ke klinik dekat rumah. Dokter memberikan resep obat. Sarannya, tentu istirahat dan tidak berkeliaran kemanapun karena penyakit ini jelas menular. Namun, malam nanti, sudah ada penerbangan Jakarta-Surabaya yang menanti. Sebagian biaya perjalanan pun sudah saya bayar ke agen travel.

Saya, tipikal orang yang sangat tidak mau rugi ini, tetap berkemas di sore harinya. Salep dan minum obat sedikit ampuh menangkal rasa gatal. Kemudian, yang timbul adalah rasa khawatir ini : “Kalau gue tetap berangkat. apa gue mampu menutupi cacar selama empat hari perjalanan?” Jawabannya… “Iya mudah-mudahan, nggak usah ribet, berangkat aja dulu

Singkat cerita, tibalah di Surabaya. Rombongan peserta travel, yang sekitar belasan orang sudah berkumpul. Saya tentu mengenakan baju lengan panjang. Sejauh ini belum ada yang curiga. Perjalanan darat Surabaya-Malang-Bromo sudah diselingi drama. Bukan karena saya ketahuan cacar. Hahaha… Tapi ini karena sopir Elf yang menyetir sembrono, ditambah ada satu kelompok (sekitar empat orang) dengan koper segede-gede gaban yang merasa butuh pelayanan kelas bintang lima.

Skip saja bagian drama itu

Fokus cerita ini adalah pengakuan. Jujur, ketika melihat sunrise Bromo di penanjakan II, saya sempat lupa sama cacar. Sampai akhirnya bagian leher dan perut mulai kembali terasa gatal. Di toilet penanjakan II, saya minum obat dan kesekian kalinya memborekan salep ke permukaan kulit. Masih aman. Belum ada yang bertanya-tanya.

Dari Bromo, perjalanan langsung dilanjutkan ke Kawah Ijen, dengan jeda tidur di mobil Elf. Karena perjalanan mendaki pagi-pagi buta, belum ada yang benar-benar curiga dengan bintik-bintik merah di sebagian wajah saya.

Saya selalu merasa Bromo dan Kawah Ijen itu magis. Dua tempat wisata ini punya pemandangan yang bikin merinding. Mungkin angin. Saya tidak tahu mengapa. Di dua tempat ini, saya berkali-kali minta maaf. Bukan secara verbal, tapi di dalam hati. Di depan kawah Ijen, saya bilang begini tanpa suara, “Maaf ya Ijen, kita baru kenalan. Kamu mungkin tahu saya kena cacar. Tapi tolong kuatkan saya,”

Selepas Ijen, perjalanan dilanjutkan menuju G Land. Saat makan siang sudah ada salah satu peserta yang bertanya, “ Itu kenapa bintik-bintik merah?” jawaban saya, “Ini alergi dingin

Kecurigaan sejumlah peserta travel ini semakin kentara ketika berada di pantai. “Kamu kenapa mesti pakai jaket ya? Cuacanya kan udah panas,” jawaban tolol saya, “Takut kulit ini tambah gosong,”

Terimakasih Tuhan. Sebab G Land memang diciptakan untuk kegiatan surfing. Jadi nggak ada agenda snorkling dan mandi-mandi cantik di bibir pantai yang ombaknya besar.

Sampai hari terakhir di G Land, lalu balik ke Jakarta, pakaian terakhir yang saya kenakan adalah sweater lengan panjang dan celana pendek. Di sini, saya sudah agak lepas, meski tetap sadar, kenapa belum ada orang yang secara terang-terangan bertanya, “Loe lagi cacar ya?”

Mungkin sebagian perserta travel ini membicarakan saya, secara diam-diam. Mungkin juga mereka tidak peduli karena tanah Jawa selalu memberikan kesan mengagumkan sehingga tidak ada waktu memperhatikan detail seseorang.

Mungkin memang angin Ijen menolong saya. Bagaiamanpun, saya harus minta maaf sekali lagi lewat tulisan ini.

Selepas perjalanan empat hari itu, saya betul-betul tidak berhubungan lagi dengan para peserta travel, kecuali dengan para pengurus agen travel, karena untuk keperluan traveling berikutnya.

Jadi kalau kalian yang dulu pernah merasa ikut dalam perjalanan ini, dan terkena efek gatal-gatal. Kalian tahu sekarang siapa penyebabnya. Maafkeun!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *